Seringkali
aku berkata,
Ketika
semua orang memuji milikku
Bahwa
sesungguhnya ini hanyalah titipan
Bahwa
mobilku hanyalah titipan-Nya
Bahwa
rumahku hanyalah titipan-Nya
Bahwa
hartaku hanyalah titipan-Nya
Tetapi,
mengapa aku tak pernah bertanya:
Mengapa
Dia menitipkan padaku ?
Untuk
apa Dia menitipkan ini padaku ?
Dan
kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu ?
Adakah
aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku ?
Mengapa
hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?
Ketika
diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
Kusebut
itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka
Kusebut
itu sebagai panggilan apa saja untuk melukiskan kalau itu adalah derita
Ketika
aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku
Aku
ingin lebih banyak harta,
ingin
lebih banyak mobil,
lebih
banyak popularitas, dan
kutolak
sakit,
kutolak
kemiskinan,
seolah
semua “derita” adalah hukuman bagiku
Seolah
keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika:
Aku
rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia
kerap menghampiriku.
Kuperlakukan
Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih
Kuminta
Dia membalas “perlakuan baikku”,
Dan
menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku
Gusti,
Padahal
tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanya untuk beribadah.
“Ketika
langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja”
Puisi Mendiang Sang Kawindra alias si Burung
Merak di atas di up date pada 29 September 2010 di http://www.nasehatislam.com/?p=912
. Saya sebagai pengagum Rendra ingin juga menuliskan ulang komentar beberapa
orang terhadap puisi tersebut di bawah ini:
7 Responses
to “ Puisi Terakhir Rendra yang dituliskannya di atas ranjang Rumah Sakit ”
1 Tika Says:
January 17th, 2011 at 2:10 pm
January 17th, 2011 at 2:10 pm
subhanallah. begitu dalam. semoga beliau
diterima di sisi-Nya…
Seoga aku bisa
mengambil hikmah dari puisi ini, semoga WS Rendra diterima disisinya amin…
3 hafidz Says:
January 27th, 2011 at 6:24 pm
January 27th, 2011 at 6:24 pm
subhanallah sampai tak terbendung air mataku
membaca puisi ini. semoga Ruh beliau diterima di sisi Allah SWT. Amin
Wallahi sebuah totalitas dalam pengabdian
kepada Roobnya dan pengakuan tentang kekurangannya. merinding aku membacanya,
seorang seperti Rendra mengucapkan kata-kata yang begitu mendalam dalam
maknanya, siapa yang mengajarinya, siapa yang mentalqinnya, di akhir masa
hidupnya, dan begitu dekatnya dengan ajalnya, tidak ada yang lainnya kecuali
Roobnya yang paling tahu, semoga Allah mewafatkan beliau dengan husnul khotimah
dan mengampuni dosa-dosanya, Allahumma amin.
5 Alzena Says:
April 17th, 2011 at 6:32 pm
April 17th, 2011 at 6:32 pm
subhanallah..
Post a Comment