(Pengantar untuk
buku yang baru terbit: Goethe – Tokoh Jerman Terbesar )
Oleh: Berthold Damshäuser
Beribu-ribu pikiran naik-turun senantiasa di dalam
diri;
jiwaku tak pernah istirah, bagai pesta kembang
api nan abadi.
(Johann Wolfgang von Goethe, 1780)
Goethe bukan saja tokoh maha besar, ia adalah sebuah
kebudayaan.
(Friedrich Nietzsche, 1886)
Empat tahun yang lalu, pada tahun 2007, pembaca Indonesia
untuk pertama kali disuguhi kumpulan terjemahan puisi-puisi Johann Wolfgang von
Goethe, pujangga terbesar yang dimiliki bangsa Jerman. Kumpulan puisi berjudul
“Satu dan Segalanya“ itu terbit sebagai jilid keempat Seri Puisi Jerman
yang dieditori oleh Agus R. Sarjono dan Berthold Damshäuser yang bersama-sama
juga menjadi penerjemah puisi-puisi Goethe ke bahasa Indonesia. Kini, puisi-puisi
Goethe dari buku “Satu dan Segalanya“ mengalami publikasi ulang, yakni dalam
rangka peringatan “50 Tahun Goethe-Institut di Indonesia“ (1962-2012).
Terpilihnya kumpulan puisi Goethe sebagai publikasi khusus dalam rangka
peringatan itu tentu sangat menggembirakan kedua editor, yang dengan senang
hati menyediakan karya terjemahannya untuk buku baru ini yang terbit dengan
judul baru, yaitu “Telah Berpilin Timur dan Barat”.
Judul baru ini diangkat dari terjemahan sebuah puisi Goethe yang sangat
terkenal, yakni “Mukadimah Diwan” yang mengawali kumpulan puisi Goethe yang
legendaris berjudul “Diwan Barat dan Timur”. Bunyinya:
Yang kenal diri juga sang lain
Di sini pun kan menyadari:
Timur dan Barat berpilin
Tak terceraikan lagi.
Arif berayun penuh manfaat
Di antara dua dunia;
Melanglang timur dan barat
Mencapai hikmah mulia!
“Timur dan Barat berpilin / tak terceraikan lagi”:
Ini ditulis Goethe pada abad ke-19, hampir dua ratus tahun yang lalu. Dan,
dalam Diwan Barat dan Timur Goethe telah membuktikan bahwa bagi dia
sendiri kalimat itu tidak sekedar hiasan bibir, melainkan kenyataan dan
keyakinan yang menjadi salah satu dasar dalam bekarya dan bertindak. Maka, tak
mengherankan jika Goethe dipandang sebagai perintis dan pelaksana dialog antara
Timur dan Barat, juga sebagai arsitek jembatan kokoh antara dua dunia yang
dikotominya terlalu kerap disederhanakan secara naif dan penuh prasangka dungu,
seperti yang – sayang sekali – masih dan bahkan semakin dapat kita saksikan
pada zaman sekarang.
Goethe, khususnya, adalah seorang perintis dialog antara “Barat” dan Islam.
Tokoh Jerman terbesar ini merasa sangat dekat dengan agama Islam, dan kedekatan
ini pun sangat nyata dalam karya-karyanya, terutama Diwan Barat dan Timur.
Dengan demikian, Goethe tentu sangat patut menjadi duta kebudayaan Jerman di
negara-negara yang berpenduduk mayoritas beragama Islam.
Sebagai editor dan penerjemah buku puisi Goethe, kami sangat puas bahwa publik
Indonesia semakin menyadari peranan Goethe sebagai pembangun jembatan antara
“Barat” dan Islam. Dan, kami bangga bahwa proses itu sepertinya tidak lepas
dari terbitnya buku Satu dan Segalanya pada tahun 2007. Pada tahun
itu, dan juga pada tahun-tahun 2008, 2009, dan 2010, buku itu diluncurkan atau
dipresentasikan di cukup banyak kota di Indonesia. Goethe-Institut Jakarta dan
mitra-mitra Indonesianya telah menyelenggarakan acara baca puisi Goethe, juga
diskusi-diskusi dan seminar-seminar tentang Goethe. Yang dilibatkan dalam
kegiatan itu bukan saja kedua editor, melainkan sekian banyak ilmuwan, teolog,
serta sastrawan atau budayawan seperti Abdul Hadi W.M., Acep Zamzan Noor, Jamal
D. Rahman, D. Zawawi Imron, Dorothea Rosa Herliany, Warih Wisatsana,
Joni Ariadinata, Sosiawan Leak, dan Tan Lioe Ie. Acara-acara tersebut
dilaksanakan di universitas-universitas, lembaga-lembaga kebudayan, dan
khususnya di berbagai pesantren. Ribuan peminat sastra dan budaya,
mahasiswa-mahasiswi, dan santri menghadirinya. Acara Goethe seperti di Ponpes
Al Amin, Prenduan (Sumenep, Madura) yang didatangi ribuan santri sangat
mengesankan dan tak terlupakan, apalagi Kyai Idris sendiri tampil membacakan
puisi-puisi Goethe yang menembus ke jantung pemikiran Islam.
Kiranya puisi Goethe memang sudah lama ditunggu-tunggu pembaca Indonesia.
Memang, puisi Goethe mutlak dihadirkan karena Goethe, yang termasuk tokoh
paling gemilang dalam sejarah sastra dunia, jelas merupakan pujangga Jerman
terbesar. Bahkan, Goethe bukan hanya seorang pujangga besar. Lebih dari itu, ia
juga seorang universalis yang dapat dianggap sebagai jenius universal pamungkas
yang setara dengan Leonardo da Vinci dari abad-abad sebelumnya. Sebagaimana
juga Leonardo da Vinci yang bukan hanya hebat sebagai pelukis belaka, Goethe
pun tak hanya hebat sebagai sastrawan. Ia seorang pelukis, budayawan, filsuf,
saintis, dan bahkan penemu, selain politikus dan negarawan.
Oevre Goethe begitu luas dan kaya. Untuk mengumpulkan semua teks yang
ditulisnya diperlukan ratusan jilid buku. Tidaklah berlebihan jika Nietzsche
sang jenius yang juga penyair dan filsuf Jerman generasi berikutnya
mengemukakan bahwa Goethe adalah sebuah kebudayaan.
Di Jerman, Goethe dipandang sebagai “pahlawan budaya”.
Ribuan buku telah ditulis tentangnya, dan jumlahnya senantiasa bertambah, mulai
dari analisis dan kajian atas karyanya, hingga biografi-biografi yang
membicarakan tiap detil dari kehidupannya. Bahkan, ditulis pula beberapa
"Kamus Goethe". Tidaklah mengherankan jika Lembaga Kebudayan Jerman,
yang bertugas memperkenalkan bahasa dan budaya Jerman di berbagai penjuru
dunia, menamakan diri Goethe- Institut.
Mengingat reputasi Goethe yang luar biasa ini, patut disayangkan bahwa ternyata
baru segelintir buku terjemahan atas karya Goethe yang telah terbit di
Indonesia, yaitu dramanya Ifigenenia di Semenanjung Tauris (2001),
diterjemahkan oleh Elisabeth Korah-Go, novelnya Penderitaan Pemuda Werther
(2000), diterjemahkan oleh Moh. Godjali Harun, serta dua terjemahan drama Faust,
yakni oleh Abdul Hadi W.M (1989) dan Agam Wispi (1999). Adapun terjemahan atas
puisi Goethe, keadaannya jauh lebih payah lagi. Sebelum terbit buku Satu
dan Segalanya (2007), puisi Goethe dalam terjemahan Indonesia hanya dapat
ditemukan dalam dua antologi, yaitu Puisi Dunia (1952) yang diedit dan
diterjemahkan oleh M. Taslim Ali, dan Malam Biru di Berlin (1990),
yang diedit dan diterjemahkan oleh Ramadhan K.H. dan Berthold Damshäuser. Jika
dikumpulkan, puisi Goethe yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
sebelum tahun 2007 tak sampai dua puluh buah banyaknya. Maka, benar-benar sudah
saatnya bahwa kini –meski sangat terlambat– diterbitkan kumpulan puisi Goethe
dalam terjemahan Indonesia.
*
Johann Wolfgang von Goethe lahir pada tanggal 28 Agustus
1749 di kota Frankfurt yang letaknya di pinggir sungai Main dan yang ketika itu
pun telah termasuk salah satu kota Jerman terpenting. Ia anak sulung dari
delapan bersaudara, tetapi hanya ia dan adik perempuannya yang bertahan hidup.
Goethe berasal dari keluarga burjuis beragama Protestan yang kaya dan
dibesarkan dalam keadaan makmur dan tenteram. Ayahnya, Johann Caspar Goethe,
seorang ahli hukum, pada umur 32 tahun memperoleh warisan kekayaan sehingga tak
lagi perlu bekerja dan dapat menikmati kehidupannya sebagai seorang cendekiawan
dan pencinta kesenian yang juga tertarik pada masalah ilmu alam. Ia
mengumpulkan hasil kesenian, artefak, dan naturalia. Ia juga memiliki
perpustakaan dengan dua ribu jilid buku. Dalam suasana intelektual yang subur
demikianlah Johann Wolfgang dibesarkan. Bahkan, ia didukung pula oleh ayahnya
yang turun tangan sendiri menjadi guru bagi anaknya, di samping mempekerjakan
berbagai guru privat, sehingga Johann Wolfgang tak pernah pergi ke sekolah
umum. Dari situasi ini, dapat dibayangkan betapa luas dan intensif pendidikan
Goethe muda. Antara lain, ia mempelajari berbagai bahasa (Latin, Yunani,
Prancis, Inggris, dan Ibrani). Ia juga sejak muda diberi bacaan karya sastra
dan karya filsafat, selain dilatih menari dan menunggang kuda.
Sejak awal, Goethe tertarik pada sastra dan sudah mulai
menulis puisi sejak ia berumur delapan tahun. Ia pun sangat tertarik kepada
dunia teater, dan ayahnya mendukung minat anaknya dengan secara teratur
mengadakan pertunjukan teater boneka di rumahnya.
Dibekali pendidikan awal yang luar biasa itu, Goethe pada
tahun 1765 meninggalkan Frankfurt dan atas perintah ayahnya mulai berkuliah di
Jurusan Hukum Universitas Leipzig. Namun, Goethe yang umurnya ketika itu baru
16 tahun, kurang tertarik pada ilmu hukum dan agak malas memenuhi tugasnya
sebagai mahasiswa jurusan hukum. Ia lebih suka mengikuti kuliah di bidang
sastra. Selain itu, ia belajar melukis dan sibuk menulis karya sastra.
Pada tahun 1767 ia mengumumkan bukunya yang pertama, sebuah
kumpulan puisi berjudul Anette (nama seorang gadis yang menjadi
kekasih Goethe di Leipzig), yang terbit secara anonim dan mengandung puisi
cinta yang agak epigonal bergaya rokoko. Ia pun menyusun teks opera,
drama-drama, dan lain-lain. Namun, dikemudian hari Goethe membuang hampir semua
karya itu. Masih di Leipzig, pada tahun 1768 Goethe menderita sakit (muntah
darah), dan oleh ayahnya disuruh pulang ke Frankfurt. Ayahnya juga kurang puas
dengan kurang majunya anaknya belajar ilmu hukum.
Kembalilah Goethe ke Frankfurt sebagai orang yang gagal,
paling sedikit di mata ayahnya. Di Frankfurt, Goethe masih sakit-sakitan juga,
walau diurus dengan penuh pengertian oleh ibunya, Catharina Elisabeth Goethe.
Barangkali, sebagai pribadi yang cukup sensitif, Goethe ketika itu mengalami
semacam gangguan jiwa. Maka oleh ibunya ia diperkenalkan kepada semacam
kelompok kebatinan atau mistik. Goethe cukup tertarik kepada kegiatan kelompok
itu, dan selama berbulan-bulan menyibukkan diri dengan dunia mistik dan gaib.
Ternyata, pengalaman di bidang itu cukup mempengaruhi Goethe sebagai pribadi,
juga sebagai pemikir dan sastrawan.
Pada tahun 1770, ayahnya kehilangan kesabaran dan menyuruh
Goethe pergi ke kota Straßburg untuk menyelesaikan kuliahnya di bidang hukum
pada universitas di sana. Akhirnya Goethe memenuhi tugasnya sebagai mahasiswa
dan berhasil memperoleh gelar Licentatius Juris yang hampir sepadan
dengan gelar „Doktor“. Namun, bagi Goethe sendiri, kejadian yang jauh lebih
penting daripada keberhasilannya di bidang akademis ialah pertemuannya dengan
Johann Gottfried Herder, teolog, filosof, budayawan, dan kritikus seni
terkenal, yang ketika itu hidup di Straßburg.
Untuk pertama kalinya Goethe bertemu dengan seorang tokoh
yang ia rasakan sebagai pribadi yang unggul. Ia terpesona oleh teori Herder
mengenai asal-usul bahasa dan tesisnya bahwa daya cipta bahasa terutama
terjelma dalam karya-karya sastra semua bangsa, termasuk sastra rakyat. Oleh
Herder ia didesak untuk tidak saja menghormati pujangga-pujangga Yunani,
melainkan juga tokoh-tokoh Eropa Tengah dan Utara seperti Shakespeare dan juga
sastra tradisional Germania dan Keltis serta apa yang oleh Herder disebut Volkslied
(lagu/puisi rakyat). Pengaruh Herder inilah yang kiranya membuat
Goethe begitu terbuka pada kebinekaan khazanah sastra, pada semua genre, dan
pada sastra semua bangsa.
Selama di Straßburg, Goethe juga mulai berkembang
menjadi sastrawan yang serius, khususnya sebagai penyair. Terilhami oleh
pengalaman cinta dengan Friederike Brion di desa Sesenheim, ia menuliskan
kumpulan puisi Sesenheimer Lieder (Dendang-dendang Sesenheim),
karya pertamanya yang tidak lagi epigonal dan membuktikan bahwa Goethe telah
mampu mengembangkan gaya sendiri. Hubungan cinta dengan Friederike
akhirnya diputuskan begitu saja oleh Goethe, perilaku yang akan menjadi tipikal
baginya yang ternyata agak takut untuk mengikatkan diri kepada manusia lain.
Padahal, ia sendiri kemudian mengaku bahwa ia „hampir mati karena berpisah dari
Friederike“.
Sebelum hari ulang tahunnya yang ke-22 Goethe kembali ke Frankfurt dan untuk
sementara bekerja sebagai pengacara. Tapi, ia tidak puas dengan pekerjaan itu
dan segera berhenti. Ia mulai bergaul dengan kalangan sastrawan dan budayawan
dan menyusun drama Götz von Berlichingen yang terbit pada tahun 1773.
Drama tentang ksatria Götz von Berlichingen (tokoh sejarah dari abad ke-16)
tersebut dianggap semacam revolusi sastra, baik dari segi formal maupun isi.
Karya itu termasuk karya terpenting dari aliran Sturm und Drang (harfiah:
"Badai dan Desakan"), di mana Goethe dan Herder menjadi penggerak
utama. Sturm und Drang dapat digambarkan sebagai aliran
anti-rasionalisme dan anti-pencerahan yang mementingkan otonomi sang seniman
sebagai jenius yang bebas dan tak terikat. Dengan terbit dan dipentaskannya Götz
von Berlichingen, Goethe menjadi sastrawan yang cukup terkenal di seluruh
Jerman.
Pada awal tahun 1772 Goethe pindah ke Wetzlar dekat Frankfurt dan bersedia
meneruskan kariernya sebagai ahli hukum di pengadilan kota itu. Namun, seperti
biasa ia kelak berhenti. Kehidupan Goethe di Wetzlar lebih diwarnai oleh
cintanya kepada Charlotte Buff, perempuan berumur 18 tahun yang telah
bertunangan dengan lelaki lain. Cinta yang tak sampai itu menyebabkan Goethe
“melarikan diri” dari Wetzlar. Namun, konstelasi segi tiga itu serta bunuh
dirinya seorang pemuda Wetzlar menjadi bahan dan alasan Goethe untuk menuliskan
–dalam waktu empat minggu– salah satu dari novel terkenal dalam sejarah sastra
dunia: Die Leiden des jungen Werthers (Penderitaan Pemuda Werther)
yang terbit pada tahun 1774. Tokoh Werther, yang bunuh diri akibat cinta yang
tak sampai, dalam keunikannya sederajat dengan tokoh sastra seperti Don
Quixote, Hamlet, Don Juan, atau Faust. Terbitnya novel itu membuat Goethe
terkenal di seluruh Eropa, dan novel itu –termasuk tokohnya– dikultuskan,
sesuatu yang sebelumnya mungkin tak pernah terjadi pada sebuah karya sastra.
Terjadilah “demam Werther”: Generasi muda di seluruh Jerman berpakaian seperti
Werther dalam novelnya, berbicara dengan gaya Werther, dan seterusnya. Novel
itu juga sekaligus dianggap skandal karena dapat diinterpretasi sebagai
pembelaan atas tindakan bunuh diri. Apalagi ada berbagai kasus bunuh diri
setelah orang membaca novel itu yang menjadi puncak aliran Sturm und Drang untuk
genre epis.
Sekembalinya di Frankfurt, Goethe terus berkarya dan menulis berbagai drama,
antara lain Clavigo dan Stella. Pada akhir tahun 1774 ia
berkenalan dengan Lili Schönemann dan jatuh cinta. Cintanya bersambut dan
mereka bertunangan resmi. Namun, tiba-tiba Goethe kembali „melarikan diri“ dan
memutuskan hubungan. Dengan putus asa dan berpakaian gaya Werther, ia
mengadakan perjalanan ke Swiss. Pulang di Frankfurt ia masih dalam keadaan
bimbang, tak dapat memahami diri. Tapi nasibnya membuka jalan baru untuk
Goethe. Ia diberi peluang untuk memulai kehidupan yang baru. Oleh Carl August,
hertog di negara Weimar-Sachsen-Eisenach di bagian timur Jerman, ia ditawari
menjadi pejabat dalam pemerintahan kehertogan di kota Weimar. Pada awalnya
Goethe ragu, malah berencana pergi ke Itali. Namun, akhirnya ia setuju dan
berangkat ke Weimar dalam kereta kuda yang disediakan oleh Hertog. Keputusan
itu akan menentukan riwayat hidup Goethe selanjutnya, karena Weimar lah yang
akan menjadi “rumahnya” sampai akhir hayatnya. Kota kecil Weimar kelak akan
menjadi “kota Goethe”, dan berkat Goethe pula kota ini akan menjadi sebuah
pusat kebudayaan Eropa.
Pada abad ke-18, Jerman belum bersatu secara politis. Walau
secara formal dipimpin oleh kaisar, terdapat ratusan negara otonom (kerajaan,
kehertogan, kota etc.). Di antaranya ada beberapa yang kuat, khususnya Prusia
dan Austria yang senantiasa bersaing dan juga sempat saling memerangi. Tapi
kebanyakan negara-negara itu agak kecil dan lemah. Kehertogan
Weimar-Sachsen-Eisenach salah satu dari sekian negara kecil itu, dan dipimpin
oleh seorang hertog yang memerintah negaranya secara absolutistis. Carl August
naik takhta pada tahun 1775, ketika umurnya baru 18 tahun. Sebagai pribadi yang
terbuka kepada kesenian dan kesusastraan, ia sangat tertarik kepada Goethe,
sang pujangga muda dan penulis Werther terkenal itu, dan sangat puas
ketika Goethe menerima panggilannya ke Weimar. Carl August kemudian bukan saja
menjadi atasan bagi Goethe, melainkan juga pengagum, sahabat, dan maesenasnya.
Pada bulan November 1775 Goethe sampai di Weimar. Ia segera
memulai tugasnya sebagai pejabat, dan menempuh karier yang gemilang. Goethe
akhirnya menjadi menteri, bahkan perdana menteri, dan dianugrahi gelar
bangsawan, dengan ditambahnya kata "von" pada namanya. Bermacam-macam
kewenangan diberi kepadanya. Goethe antara lain pernah memimpin resor
pertahanan, pembangunan jalan, keuangan, pertambangan, dan kebudayaan.
Sebagai negarawan, Goethe sangat berjasa bagi kehertogan Weimar-Sachsen-Eisenach.
Tidak saja karena ia seorang menteri yang cekatan dan penuh inisiatif,
melainkan juga karena ia menjadi penasehat, bahkan semacam guru bagi Carl
August.
Goethe sendiri menyebutkan kepindahannya ke dunia politik
sebagai "kepindahan ke dunia nyata". Ia menekuni tugas-tugasnya yang
baru, benar-benar menjadi politikus, dan selama sepuluh tahun pertama di Weimar
produktivitas sebagai sastrawan agak menurun, kecuali di bidang puisi.
Perhatiannya lebih diarahkan ke ilmu alam: biologi, khususnya anatomi. Pada
tahun 1784 ia menemukan sebuah tulang kecil (os intermaxillare) pada
kepala manusia, yang ketika itu merupakan sebuah sensasi bagi para ahli yang
beranggapan bahwa tulang demikian hanya terdapat pada hewan. Goethe yang secara
“intuitif” merasakan “persaudaraan rahasia antara hewan dan manusia"
dengan penelitian tekun tokh membuktikan keterbalikannya.
Tahun-tahun awal di Weimar tentu tetap diwarnai oleh
bermacam-macam kegiatan budaya yang dilakukan Goethe. Ia memanggil sekian
banyak tokoh budaya ke Weimar, di antaranya Herder, dan memberi jabatan kepada
mereka. Bersama budayawan-budayawan itu Goethe terlibat dalam diskusi dan
dialog yang subur. Sedangkan kehidupan pribadi Goethe, yang tinggal dalam rumah
mewah yang dihadiahkan oleh Hertog Carl August kepadanya, tetap cukup menarik.
Ia berhubungan erat dengan isteri seorang pejabat lain, yaitu bangsawati
Charlotte von Stein. Wanita sensitif dan berpendidikan tinggi itu selama hampir
sepuluh tahun menjadi sahabat mungkin juga kekasih Goethe, dan banyak
mempengaruhinya menjadi pribadi yang matang dan berdisiplin.
Setelah sepuluh tahun di Weimar, Goethe mulai merasa jenuh. Ia kecewa bahwa
cita-citanya sebagai negarawan dan politikus kurang dapat diwujudkan.
Hubungannya yang ganjil dengan Charlotte von Stein juga tidak memuaskannya
lagi. "Saya harus kembali menguliti diri, seperti seekor reptil",
begitu komentarnya, ketika ia merencanakan suatu adegan baru dalam
kehidupannya. Pada tahun 1786 ia memohon kepada Hertog Carl August untuk diberi
cuti, dan –tanpa pamit kepada Charlotte– berangkatlah ia ke Itali, negara yang
sejak dulu diidamkannya. Kembali ia melakukan semacam "pelarian
diri".
Selama hampir dua tahun Goethe hidup di Itali, khususnya di Roma. Ia
mempelajari kesenian dan arsitektur klasik dari zaman Romawi dan Yunani, juga
kesenian renaissance. Dalam karya Raffael sebagai pembaharu zaman
antik ia melihat puncak kesenian Barat. Goethe merasa sangat diperkaya dan
terilhami oleh perjalanannya ke Itali, dan menemukan diri lagi sebagai seniman.
Ia mulai giat lagi berkarya, merampungkan versi bersajak dari drama Iphigenie
auf Tauris (Ifigenia di Semenanjung Tauris) serta drama Egmont,
dan mulai menyusun drama sejarah Torquato Tasso. Ia juga mengumpulkan
bahan dan inspirasi untuk sebuah kumpulan puisi yang gemilang, yaitu Römische
Elegien (Elegi-elegi Roma) –dirampungkan pada tahun 1790– yang
unsur-unsur erotisnya menandakan bahwa Goethe selama di Itali juga menimbun
pengalaman demikian. Di Itali, Goethe merasa "lahir kembali". Sebagai
manusia, dan sebagai seniman. Dan masukan-masukan selama perjalanan ke Itali
itu, khususnya di bidang estetika, akan menjadi dasar bagi aliran atau zaman
Klasik Jerman yang dipelopori oleh Goethe, di antaranya dengan karya-karyanya
yang dihasilkan di Itali.
Pada tahun 1788 Goethe –yang kini berumur hampir 40 tahun– kembali ke Weimar.
Sebagai pejabat –ia tetap berposisi menteri– ia tidak lagi bersedia mengurus
bidang yang kurang menarik perhatiannya, dan juga mengurangi tugas atau beban
administratif yang dulu dipikulnya. Hertog Carl August kecewa, tapi setuju
juga. Goethe memilih menangani bidang budaya dan ilmu pengetahuan. Ia menjadi
pemimpin dan sutradara Teater Kehertogan, juga Inspektur Lembaga Kesenian dan
Ilmu Pengetahuan di Weimar dan kota universitas Jena, yang tidak jauh dari
Weimar. Hubungannya dengan ilmuwan-ilmuwan di Universitas Jena semakin erat,
baik dengan kalangan humaniora –misalnya para filosof besar seperti Fichte,
Schelling, dan Hegel– maupun kalangan ilmu alam, termasuk Alexander von Humboldt.
Goethe memang semakin tertarik pada ilmu alam, khususnya bidang optik.
Pada awalnya Goethe merasa sulit menyesuaikan diri lagi
kepada suasana di Weimar. Ia tidak merasa "di rumah". Hal ini
berubah, ketika pada akhir tahun 1788 ia berkenalan dengan Christiane Vulpius,
seorang perempuan sederhana dan tak berpendidikan yang umurnya saat itu 23
tahun. Christiane ia jadikan kekasihnya dan hidup serumah dengan dia. Hal ini
oleh warga kota Weimar, juga oleh teman-teman Goethe termasuk Herder, dianggap
kurang tepat atau bahkan skandal. Apalagi, ketika pada tahun 1789 Christiane
melahirkan putra mereka yang diberi nama August, dan Goethe tokh tidak
merasa perlu menikahinya. Goethe disindir dan dikecam, namun ia tidak terlalu
menggubrisnya. Baru pada tahun 1806 Goethe –agak terlambat– meresmikan
hubungannya dengan Christiane dan menjadikannya isterinya. Sampai ajal
Christiane pada tahun 1815, mereka hidup rukun dan cukup bahagia.
Faktor lain yang memungkinkan Goethe kembali merasa betah
di Weimar adalah kenyataan bahwa Weimar –bersama dengan Jena– semakin
berkembang menjadi pusat budaya Jerman. Semakin banyak tokoh berdatangan,
termasuk pujangga dan sejarawan Friedrich von Schiller yang kelak akan menjadi
rekan dan sahabat Goethe yang terpenting. Kerja sama antara dua pujangga Jerman
ini –mereka sendiri menyebutnya “persekutuan”– merupakan puncak zaman klasik
Jerman dan juga disebut “Klasik Weimar”. Keduanya berkiblat pada kebudayaan dan
kesenian Yunani dan Romawi dan berusaha melahirkannya kembali dalam karya-karya
mereka sendiri. Mereka saling mengilhami, bahkan menghasilkan karya bersama,
yaitu kumpulan epigram berjudul Xenien dan Tabulae Votivae.
Mereka pun bersama-sama menyunting majalah budaya, seperti Die Horen
dan Propyläen, di mana mereka memaparkan teori mereka perihal
estetika, sastra, teater, arsitektur, dan lain-lain. Dalam sejarah budaya
jarang terjadi kerja sama sesubur kerja sama antara “dwitunggal” Goethe dan
Schiller. Hanya, semua itu tidak berlangsung terlalu lama, karena
Schiller meninggal dunia pada tahun 1805, ketika umurnya baru 45 tahun.
Sejak perjalanannya ke Itali Goethe semakin produktif.
Sebagai sastrawan ia menghasilkan berbagai karya besar, di antaranya trilogi
novel Wilhelm Meister yang mulai ditulisnya pada tahun 1796,
epos satiris Reineke Fuchs (1793), jilid I dari dramanya yang
terpenting Faust (1806) dan –tentu– banyak sekali puisi. Di
samping itu, Goethe juga menulis karya ilmiah, seperti Metamorphose der
Pflanzen (Metamorfosis Tumbuhan-tumbuhan), 1790, Beiträge zur
Optik (Sumbangan-sumbangan pada Ilmu Optik), 1791, serta Farbenlehre
(Teori Warna), 1810. Bagi Goethe, karya ilmiahnya tak kalah pentingnya
dibandingkan karya sastranya, dan ia agak kecewa ketika kebanyakan
“penemuannya” kurang diapresiasi oleh dunia akademis, hal yang umumnya berlaku
sampai sekarang. Cara penelitian Goethe memang sangat berbeda dari positivisme
yang pada masa hidupnya sudah mulai mendominasikan metode-metode ilmiah. Bagi
Goethe sendiri, fenomena-fenomena hanya akan benar-benar dipahami bila
–berdasarkan penelitian empiris– dipandang secara holistis. “Tiada fenomena
yang bisa menerangkan diri sendiri; baru kalau banyak fenomena dipandang secara
sistematis dan menyeluruh, mereka dapat menyumbang pada sesuatu yang dapat dianggap
teori”. Demikian salah satu penjelasan Goethe. Pendekatan atau metode ilmiah
Goethe, yang pada tahun 1803 telah diberi nama “goetheanisme”, pada zaman
sekarang masih hidup juga, terutama di kalangan gerakan antroposofi yang
didirikan filosof dan mistikus Rudolf Steiner pada awal abad ke-20.
Di antara tahun 1788 dan 1815 Goethe tetap dilibatkan dalam
hal-hal politik, walau ia telah mengurangi beban administratifnya. Memang, tak
ada jalan lain baginya, karena begitu banyak peristiwa sejarah yang dampaknya terasa
juga di kehertogan Weimar. Pada tahun 1789 meletuslah Revolusi Prancis yang
mengakibatkan perang antara pasukan revolusioner Prancis dan tentara koalisi
Prusia-Austria serta negara Jerman lainnya, termasuk Weimar. Goethe mendampingi
Hertog Carl August ke medan perang, dan dekat Mainz di bagian Barat Jerman ia
menyaksikan kekalahan tentara koalisi Jerman. Goethe risih terhadap dampak
Revolusi Prancis yang jelas merupakan ancaman terhadap sistem pemerintahan
absolutistis di Jerman. Walau ia dapat memahami cita-cita revolusi, ia dengan
tajam menolaknya. Bukan (saja) karena ia bagian dari sistem lama, melainkan
karena ia menolak segala macam revolusi. Baginya, hanya reformasi alamiah
sanggup memecahkan masalah ketakadilan dan sebagainya.
Konflik antara Prancis revolusioner dan Jerman semakin
panas saat Napoleon mulai berkuasa pada tahun 1799. Kekalahan Austria pada
tahun 1805 di Austerlitz menyebabkan berakhirnya “Kekaisaran Romawi
Berkebangsaan Jerman” yang secara formal telah berlangsung selama lebih dari
delapan abad. Kaisar Franz II terpaksa meletakkan makhkotanya. Perang semakin
mendekati Weimar. Prusia dan sekutunya pada tahun 1806 dikalahkan tentara
Napoleon dalam pertempuran di Jena, dan kota Weimar diduduki pasukan Prancis.
Penjarahan terjadi, dan rumah Goethe pun diserbu perajurit Prancis. Dalam
keadaan kacau demikian Goethe tetap menteri kehertogan dan dilibatkan dalam
perundingan diplomatis dengan pihak penjajah. Dalam rangka Kongres Erfurt pada
tahun 1808 di kota Erfurt, dekat Weimar, Goethe diterima oleh Napoleon yang
ternyata pengagum beratnya. Kaisar Prancis itu tidak saja menghadiahkan bintang
kepada pujangga Jerman besar itu, melainkan menawarkan kepadanya untuk pindah
ke Paris “untuk menulis drama-drama kepahlawanan”. Goethe menolak, walau ia
cukup terpesona oleh pribadi Napoleon. Kemudian, Goethe, yang tak pernah
menjadi seorang nasionalis Jerman, mendukung perlawanan atau perang kemerdekaan
terhadap penjajah Prancis. Dan akhirnya Napoleon memang dapat dikalahkan oleh
Prusia dan sekutunya dalam pertempuran di Leipzig pada tahun 1813. Dalam
Kongres Wina pada tahun 1815 Eropa diatur secara baru. Ide-ide revolusi kalah
untuk sementara, dan mulailah zaman restorasi. Kehertogan
Weimar-Sachsen-Eisenach diuntungkan oleh keputusan-keputusan Kongres Wina
dengan dijadikan "Kehertogan Besar" serta dianugerahkannya gelar
"Paduka Raja" kepada Hertog Carl August. Kemenangan kekuatan-kekuatan
konservatif tentu disambut oleh Menteri Goethe.
Pada tahun 1815, umur Goethe 66 tahun. Mulailah "masa tuanya", dan
dengan melepaskan jabatannya yang terakhir, yaitu kepemimpinan Teater
Kehertogan, ia pensiun sebagai pejabat. Sejak meninggalnya isterinya Christiane
pada tahun 1816, ia hidup bersama putranya August dan diurus oleh menantunya.
Sementara itu, Goethe telah menjadi sebuah legenda hidup dan semakin
dikultuskan oleh sastrawan dan budayawan muda yang "berziarah" ke
rumahnya dengan harapan diterima oleh Goethe. Produktivitas sebagai sastrawan
dan ilmuwan tidak menurun. Ia terus-menerus melengkapi otobiografinya Dichtung
und Wahrheit (Fiksi dan Kebenaran), banyak sekali menulis puisi,
termasuk cukup banyak aforisme, dan tetap mengadakan penelitian ilmiah. Di
antara sekian banyak karya sastra yang dihasilkan pada masa tuanya, paling
sedikit dua karya agung yang perlu disebut, yaitu kumpulan puisinya West-Östlicher
Diwan (Diwan Barat-Timur) yang terbit pada tahun 1919, dan
mahakaryanya Faust II (1831), bagian II dari drama Faust
yang termasuk drama paling penting dalam sejarah sastra dunia.
Pada tahun 1822 Goethe mengalami serangan jantung yang pertama, dan selama satu
tahun agak sakit-sakitan. Setelah sembuh, ia semakin giat, sering mengadakan
perjalanan ke kota peristirahatan Karlsbad dan Marienbad di Bohemia. Di
Marienbad ia bertemu dengan Ulrike von Levetzow dan jatuh cinta kepada gadis
umur 19 tahun itu. Bahkan, ia bertekad menikahinya. Namun, lamaran resminya,
yang disampaikan kepada Ulrike melalui Hertog Carl August, ditolak dengan
halus. Goethe terpukul. Ia semakin menyepi, dan menyibukkan diri dengan
berkarya. Pada tahun 1828 Hertog Carl August meninggal dunia. Goethe kehilangan
pendukungnya yang paling setia. Pukulan nasib berikutnya adalah meninggalnya
anak tunggalnya August dalam perjalanan di Itali pada tahun 1830. Goethe
semakin sepi. Sering juga sakit-sakitan. Pada bulan Maret 1832 ia kembali
mengalami serangan jantung. Ditambah infeksi paru-paru, keadaanya menjadi
parah. Ia meninggal dunia dengan tenang pada tanggal 22 Maret 1832. Pujangga
terbesar Jerman dikebumikan di Weimar, di tempat kuburan para hertog Weimar, di
samping Friedrich von Schiller, rekan dan sahabatnya. Kuburannya sampai
sekarang menjadi tempat ziarah bagi para pengagumnya serta para wisatawan dari
mancanegara.
*
Riwayat hidup Goethe yang disajikan di atas tentu hanya
merupakan riwayat yang sesingkat-singkatnya serta hanya dapat mengungkap
fakta-fakta yang paling penting. Sekalipun demikian, dalam bagian berikut
pengantar ini, yakni saat kami membicarakan puisi Goethe –khususnya puisi-puisi
yang dimuatkan dalam buku ini– kami akan membicarakan pula berbagai informasi
tambahan mengenai kehidupan Goethe, khususnya tentang keyakinan, kepercayaan,
atau pandangan hidup pujangga besar ini. Goethe sendiri pernah mengatakan,
bahwa karya-karyanya merupakan "pecahan sebuah keyakinan yang
menyeluruh", dan hal itu khususnya berlaku bagi puisinya.
Goethe telah menuliskan ribuan puisi, sejak kanak hingga lanjut usia.
Sejak masa remaja, produktivitas Goethe sebagai penyair tak pernah menurun,
bahkan pun selama dasawarsa pertama di Weimar ketika ia lebih mementingkan
tugasnya sebagai pejabat. Menulis puisi bagi Goethe adalah satu kebutuhan yang
mustahil diabaikan. Puisinya luar biasa beragam, baik dalam bentuk maupun tema.
Goethe menguasai semua bentuk puisi yang dikembangkan para penyair masa
sebelumnya, mulai bentuk puisi klasik Yunani hingga bentuk puisi Germania.
Dalam oevre Goethe, kita menemukan himne, balada, soneta, “puisi
rakyat”, epigram dan seterusnya.
Pada Goethe kita akan menemukan puisi bermetrum dan berima
teratur, namun juga puisi-puisi bermetrum bebas. Ia menulis puisi-puisi yang
mencerminkan penguasaannya yang luar biasa atas bentuk perpuisian yang
mentradisi di zamannya maupun zaman sebelumnya, namun ia juga menemukan
bentuk-bentuk baru dan menulis dalam gayanya sendiri yang tak tertiru penyair
lain. Demikian pula dalam hal tema. Segala sesuatu yang berkaitan dengan
kehidupan manusia dijadikan tema untuk puisinya. Bahkan tema ilmiah ia sajikan
dalam bentuk puisi, seperti misalnya Metamorphose der Pflanzen (Metamorfosis
Tumbuh-tumbuhan). Nyatalah bahwa bagi Goethe alam atau ilmu alam, filsafat
serta manusia, merupakan sesuatu yang tak terpisahkan dari puisi. Dengan puisi
Goethe berusaha melihat dan memperlihatkan bahwa –sesuai dengan ucapannya
sendiri– "segala keduniawian mengandung rahasia luhur yang
nyata".
Pada saat pengalaman pribadi atau kenyataan-kenyataan
diolahnya menjadi puisi, Goethe senantiasa berupaya memahami dan menerangkan
hakekat kehidupan manusia serta keteraturan spiritual yang berada di belakang
segala yang nampak. Puisi Goethe sebenarnya adalah dokumentasi dari sebuah
perjalanan batin dan pemikiran sehingga puisi-puisi Goethe seolah telah menjadi
kosmos tersendiri.
Dilihat dari berbagai segi, tak bisa tidak Goethe adalah penyair berbahasa
Jerman yang terbesar. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa ia termasuk
penyair dunia yang terhebat. Terkadang memang orang menyebutkan Hölderlin,
Heine, Rilke, atau Brecht sebagai penyair berbahasa Jerman nomor wahid.
Namun, paling sedikit dilihat dari keragaman dan besarnya pengaruh atas
generasi-generasi berikutnya, oevre puitis Goethe lah yang paling
besar dan berarti.
Tidak mudah bagi editor buku ini untuk menyusun kumpulan
puisi Goethe yang agak representatif. Besarnya kuantitas oevre puitis
Goethe saja memustahilkan upaya demikian. Namun, kami mengharap bahwa kami
berhasil menyajikan sebuah kumpulan yang dapat memberi gambaran yang cukup luas
tentang keanekaan bentuk dan tema perpuisian Goethe. Dalam buku ini, tentu kami
muatkan sejumlah puisinya yang paling dikenal. Puisi-puisi Goethe kami sajikan
dalam lima bagian, yaitu “Batas-batas Manusia”, “Keping-keping Kebijaksanaan”,
“Merindu Mati di Kobaran Api”, “Tak Berkulit Tak Berbiji”, dan “Wasiat”.
Judul-judul itu dipilih berdasarkan judul atau teks puisi Goethe sendiri,
kecuali “Keping-keping Kebijaksanaan” yang merupakan ide editor. Pada dasarnya
masing-masing puisi diatur secara kronologis, walau prinsip itu tidak kami
pegang dengan sangat ketat.
Dalam “Batas-batas Manusia” yang menjadi bagian I kumpulan ini, disajikan puisi
Goethe yang ditulisnya antara tahun 1771 dan 1785. Yakni, puisi-puisi yang
ditulisnya ketika ia masih tinggal di Frankfurt atau bagian barat Jerman
serta selama dasawarsa pertamanya di Weimar. Sajak “Prometheus” dan
“Ganymed” mengawali bagian I. Ditulis pada tahun 1774, kedua
himne bermetrum bebas dan terkenal itu termasuk fase Sturm und Drang,
sekaligus merupakan sumbangan puisi Goethe terpenting kepada aliran yang ikut
ia pelopori itu.
Tokoh Prometheus, misalnya, digambarkan Goethe sebagai
pencipta dan pemberani menantang para dewa. Hal ini berkaitan erat dengan ide Sturm
und Drang tentang seniman sebagai jenius dan pencipta yang serba bebas dan
mandiri. Sedangkan Ganymed dalam himne Goethe tampil sebagai tokoh yang lunak,
yang merindukan penciptanya dalam sebuah pertemuan melalui penyatuan dengan
alam. Jelas di situ unsur panteistis, salah satu petanda bahwa Goethe pernah
dipengaruhi oleh filosof Belanda Baruch Spinoza (1632-1677) yang mengajar
kesatuan antara Tuhan dan alam.
Himne-himne terkenal lain yang dihasilkan Goethe setelah
pindah ke Weimar juga kami muatkan dalam bagian I, yaitu Grenzen der
Menschheit (“Batas-batas Manusia”), Gesang der Geister über den
Wassern (“Nyanyian Ruh di Atas Air”), serta Das Göttliche
(“Keillahian”), yang semuanya bermetrum bebas. Ketiga himne tersebut mengandung
renungan dan ajaran filosofis tentang manusia dan keillahian. Goethe percaya
mutlak kepada keillahian, namun ia tak pernah merasa terikat oleh agama formal
apa pun, dan khususnya tak pernah merasa dirinya menjadi seorang Nasrani. Ia
menolak kepercayaan kepada Yesus Kristus sebagai anak Tuhan dan juru selamat.
Boleh jadi itulah sebabnya tatkala membicarakan keillahian ia sering memakai
kata “dewa” dan dalam hal itu terasa betapa dekatnya Goethe pada mitologi
Yunani. Kepercayaan Goethe tak mungkin diringkaskan secara detil, ia pun tak
pernah memegang ajaran yang pasti dan bermacam-macam pandangan dapat ditemukan
dalam karya-karyanya. Misalnya, himne Gesang der Geister über den
Wassern (“Nyanyian Ruh di Atas Air“) dapat saja diinterpretasikan sebagai
penggambaran reinkarnasi, mengingat bait pertama yang berbunyi: Jiwa
manusia/Serupa air:/Dari langit datang,/Ke langit pergi,/Dan mesti
kembali/Turun ke bumi,/Abadi silih berganti. Untuk mengetahui inti
kepercayaan Goethe, mungkin sebaiknya kita berpegang kepada ucapannya pada
tahun 1824, yakni: „Memikirkan maut, saya sama sekali tenang, karena saya
berkeyakinan, bahwa ruh kita tak mungkin sirna; ia adalah sesuatu yang bergerak
dari keabadian ke keabadian.“
Puisi-puisi lain dalam bagian I sangatlah berbeda dari
himne-himne yang disebut di atas. Terdapat dua puisi cinta yang
sederhana, Wenn ich, liebe Lili („Andai Aku Tak Cinta
Kau“) dan Woher sind wir geboren? („Dari Mana Kita Mengada?“) yang
berlatarbelakang biografis. Yang pertama berkaitan secara langsung dengan Lili
Schönemann, sedangkan yang kedua pernah dikirim kepada sahabat perempuannya di
Weimar, Charlotte von Stein. Balada Heidenröslein („Mawar Tegalan“)
tak kalah sederhana. Ia adalah contoh untuk sekian banyak puisi Goethe dan
ditulisnya dalam gaya puisi rakyat. Balada pendek ini yang dihasilkan
Goethe di Straßburg setelah bertemu dengan Herder telah dilagukan oleh komponis
Jerman Franz Schubert (1797-1828) dan sampai sekarang sering dinyanyikan dan
dikenal oleh hampir semua orang Jerman. Schubert jugalah yang melagukan balada
dahsyat Erlkönig („Raja Mambang“) tentang makhluk spiritual yang
sanggup mengancam jiwa manusia. Alam dalam balada legendaris ini digambarkan
Goethe sebagai sesuatu yang begitu mengerikan. Bahan untuk balada ini ditemukan
Goethe dalam cerita rakyat Denmark yang pertama kali diterjemahkan ke bahasa
Jerman oleh Herder.
Dibandingkan dengan suasana Erlkönig, sifat
alam terasa sangat berbeda dalam dua puisi liris yang juga termasuk puisi
Goethe yang sangat terkenal, yaitu Wanderers Nachtlied („Dendang
Malam Pengembara“) dan Ein Gleiches („Yang Sepadan“). Kedua puisi itu
sederhana, sekaligus sempurna. Isi dan bentuk (rima dan irama) menyatu,
sehingga menambah atau menghilangkan satu kata pun dari teksnya, akan berarti
menghancurkan keseluruhan struktur yang begitu padu.
Dalam bagian II, “Keping-keping Kebijaksanaan”, pembaca
disajikan berbagai karya yang dihasilkan bersama oleh Goethe dan
"sekutunya" Schiller. Kiranya hal itu pantas untuk sebuah kumpulan
puisi Goethe, mengingat betapa erat kerja sama antara kedua tokoh itu.
Karya-karya itu juga mewakili dan memberi contoh untuk fase "Klasik
Tinggi" atau "Klasik Weimar" yang diwarnai oleh "persekutuan"
antara Goethe dan Schiller. Karya-karya itu berupa dua kumpulan epigram yang
mereka beri nama Xenien (Xenia) dan Tabulae Votivae.
Istilah xenia berasal dari bahasa Yunani dan
berarti "kado". Dalam hal ini, Goethe dan Schiller mengikuti contoh
pujangga Romawi Martial, yang pada abad pertama menyusun kumpulan epigram
dengan judul yang sama. Sedangkan tabulae votivae (bahasa latin)
artinya "papan kaul" dan berkaitan dengan kebiasaan orang Romawi,
juga orang Nasrani, untuk memasang papan atau gambar bertuliskan kaul atau
janji dalam rangka mohon bantuan kepada dewa-dewa atau Tuhan. Kedua istilah itu
oleh Goethe dan Schiller digunakan secara ironis, karena epigram-epigram
mereka, khususnya Xenien, sebenarnya merupakan polemik yang tajam dan
keras.
Bersama-sama menulis epigram adalah ide Goethe pada akhir
tahun 1795 dan berlatar belakang rasa kesalnya karena kritik berbagai kalangan
terhadap majalah sastra dan budaya Die Horen, di mana Goethe,
Schiller, dan rekan-rekan mempublikasikan esei-esei dan teori-teori
"klasik" mereka. Untuk menjawab kritik itu, Goethe dan Schiller
bersepakat untuk tiap hari menyusun paling sedikit satu epigram sebagai
kontra-kritik yang pedas, ironis, sekaligus berisikan kebijaksanaan umum. Dan
rencana itu terwujud juga, sehingga akhirnya terdapat 414 xenia
dan 103 tabulae votivae yang mereka publikasikan pada akhir tahun
1796. Reaksi dari lawan mereka datang segera, dan sebagian dari mereka yang
diserang –juga sebagai pribadi– menjawab dengan xenia sendiri.
Terjadilah apa yang dalam sejarah sastra Jerman disebut "Perang
Xenia", karena Goethe dan Schiller tentu menjawab dengan xenia
yang baru juga.
Masing-masing epigram dalam Xenien dan Tabulae
Votivae tidak ditulis bersama-sama oleh Schiller dan Goethe, hanya
keseluruhannya merupakan karya bersama. Hingga sekarang para filolog pun tidak
mengetahui persis epigram mana yang ditulis oleh Goethe dan yang mana ditulis
oleh Schiller. Namun dan bagaimana pun, kedua kumpulan itu merupakan sebuah
puncak "seni epigram". Bentuknya saja cukup menarik, yaitu distichon
(puisi Yunani dengan dua baris) bermetrum ketat, yakni hexameter
dengan enam tekanan yang disusul pentameter dengan lima tekanan. Untuk
buku ini para editor memilih kira-kira dua puluh epigram, di antaranya beberapa
yang memberi gambaran cukup jelas tentang pandangan hidup kedua tokoh itu.
Misalnya Mein Glaube ("Kepercayaanku") yang
berbunyi: Agama mana kuanut? Tiada dari yang kau sebut!/ Mengapa satu pun
tiada? Karena agama.
Bagian III, "Merindu Mati di Kobaran Api",
memuatkan puisi terpilih dari sebuah mahakarya Goethe, yaitu West-Östlicher
Diwan (Diwan Barat-Timur) yang terbit pada tahun 1819 dan mulai
ditulis Goethe pada tahun 1815. Karya itu sudah termasuk karya Goethe yang
biasanya disebut "karya Goethe Tua". Kumpulan puisi tebal dan
terkenal ini, yang Goethe bagi menjadi dua belas „kitab", membuktikan
betapa terbukanya pergaulan Goethe terhadap dunia Timur, khususnya terhadap
agama Islam. Sebenarnya perhatian Goethe kepada agama Islam telah terdapat
sejak fase Sturm und Drang, ketika ia pada tahun 1772 menulis himne Mahomets
Gesang („Dendang Nabi Muhammad“). Bahkan, Goethe pada saat itu mulai
menyusun sebuah drama berjudul Mahomet („Muhammad“), tapi tak pernah
dirampungkannya.
Kira-kira pada tahun 1810, Goethe makin tertarik kepada
dunia timur, belajar bahasa Arab dan Persia, membaca lagi Al Quran dan
puisi klasik dari Persia (Ferdusi, Rumi dan Hafiz) yang ketika itu telah
terdapat terjemahannya dalam bahasa Jerman. Ia takjub oleh kekayaan puitis yang
ia temukan dalam karya-karya itu, dan dunia Timur ia duga sebagai sumber dan
tempat asalnya puisi. Ia merasa begitu dekat dengan pujangga Timur, khususnya
Hafiz, yang sangat ia kagumi. Puisi-puisi dalam Diwan Barat-Timur
membuktikannya, misalnya puisi Unbegrenzt („Tak Berbatas“) di mana
Goethe bertutur langsung kepada Hafiz: Wahai Hafiz, hanya dengan kau
seorang/Ingin aku bertanding!/Nikmat dan siksa/Bagi sang kembar, kita berdua!
Agama Islam cukup menonjol dalam Diwan Barat-Timur,
dan sangatlah terasa simpati Goethe terhadapnya. Dalam puisi Ich sah, mit
Staunen und Vergnügen („Aku memandang, takjub dan girang“) ia sebutkan Al
Quran sebagai Khasanah suci sang ilmu, dan dalam Kitab Hikmah
terdapat kalimat yang terkenal, yakni:
Bila makna Islam pada Tuhan berserah diri
Maka dalam Islam semua kita hidup dan mati.
Kalimat itu sempat ditafsirkan sebagai pengakuan Goethe
sebagai seorang Muslim. Kiranya, tafsiran demikian berlebihan. Sekalipun
demikian, adalah kenyataan bahwa Goethe sangat menghargai kepercayaan Islam. Ia
sendiri tentu jauh dari semua sikap fundamentalistis atau ortodoks, dan
berbagai puisi dalam Diwan mungkin akan mengagetkan pembaca tertentu.
Dalam Kitab Kedai Minuman –misalnya– ia menulis bahwa: Sang
peminum, bagaimanapun juga,/ Memandang wajahNya lebih segar belia.
Ungkapan semacam ini sebenarnya tidak aneh karena Goethe sebenarnya mengikuti
tradisi puisi sufi. Dan memang, sufisme serta pujangga sufi seperti Hafiz, ia
rasakan sangat sejalan dengan dirinya sendiri. Goethe sendiri dalam Diwan
telah menyumbangkan salah satu puisi sufi yang indah, yakni Selige
Sehnsucht („Rindu Dendam“), tentang kupu-kupu yang merindu mati di
kobaran api sebagai lambang manusia yang merindukan cahaya Illahi.
Dengan menulis Diwan Barat-Timur tidaklah berarti
Goethe menjadi pujangga Timur atau tiba-tiba kerkiblat kepada dunia timur
belaka. Unsur-unsur budaya Yunani klasik dan agama Nasrani dapat juga ditemukan
dalam kumpulan puisi yang unik itu. Unsur autobiografis pun tak dapat
dinafikan, karena tokoh Suleika dalam Diwan jelas berkaitan dengan
Marianne von Willemer, salah seorang lagi dari sekian perempuan yang pernah
Goethe cintai. Diwan Barat-Timur adalah pemaduan atau simbiosis antara
aneka masukan, yang menjelma menjadi sesuatu yang besar dan utuh. Dengan Diwan
Goethe telah memberi sumbangan besar terhadap Weltliteratur (sastra
dunia), istilah yang tidak kebetulan ditemukan dan diperkenalkan oleh Goethe
sendiri. Segala pemisahan antara Timur dan Barat, antara Nasrani dan Islam, dan
seterusnya dan sebagainya, tidak berlaku bagi Goethe. Ia telah mencipta sesuai
dengan ucapannya dalam „Mukadimah Diwan“ yang telah kami kutip pada awal
pengantar ini.
Puisi-puisi dalam bagian IV dan V dari kumpulan puisi
Goethe ini juga termasuk "karya Goethe tua" dan –kecuali soneta Natur
und Kunst (Alam dan Seni) yang ditulis pada tahun 1807 sehingga
termasuk fase "Klasik Tinggi"– semuanya ditulis setelah tahun 1815.
Dalam bagian IV, "Tak Berkulit Tak Berbiji",
pembaca disajikan lagi berbagai Sprüche, setelah dalam Kitab
Hikmah dari Diwan Barat-Timur sudah dapat membaca berbagai contoh
karya pendek demikian, yang merupakan genre sastra yang dalam sejarah sastra
Jerman mulai populer pada abad pertengahan, khususnya untuk menyampaikan ajaran
moral, hikmah, atau kebijaksanaan umum. Ia semacam aforisme bersajak, sehingga
termasuk genre puisi. Goethe juga menulis banyak aforisme berbentuk prosa yang
kemudian dikumpulkan dalam Maximen und Reflexionen (Prinsip-Prinsip
dan Renungan), tapi di usia lanjut ia semakin cenderung menyusun Sprüche.
Ada saatnya di mana ia hampir tiap hari mencatat karya pendek demikian yang
bertemakan apa saja yang ia alami atau ia renungkan pada hari itu. Caranya
menggubah tema tidak setajam gaya dalam Xenien atau Tabulae
Votivae yang juga bersifat aforistis, dan untuk Sprüche ia tidak
memilih metrum Yunani, melainkan metrum yang biasanya digunakan dalam puisi
rakyat Jerman, sehingga Sprüche itu mirip peribahasa. Jumlah Sprüche
yang ditulis Goethe hampir seribu buah. Sebagian darinya Goethe kumpulkan di
bawah judul Zahme Xenien (Xenia Lunak).
Dalam bagian V yang berjudul "Wasiat" terdapat sepuluh lagi puisi
Goethe. Sebuah puisi-alam sederhana, Immer und Überall ("Di
Mana Saja dan Senantiasa") mengawali bagian akhir buku ini dan disusul
oleh Mignon atau Kennst du das Land ("Kenalkah kau
negeri"). Sajak itu, yang dimuatkan Goethe dalam jilid III novelnya Wilhelm
Meister, juga termasuk puisi Goethe yang paling terkenal. Pembaca Jerman
sangat menyenanginya, bukan saja karena isinya yang romantis-misterius,
melainkan juga karena bentuknya yang begitu indah dengan keselarasan bunyi dan
iramanya.
Kedelapan puisi lain dalam bagian "Wasiat"
kiranya tak kurang indah, dan sekaligus berisikan renungan yang filosofis
dan/atau mistis. Dalam puisi-puisi itu Goethe menyampaikan berbagai dasar dari
pandangan hidupnya dan mengangkat tema-tema yang dari dulu memainkan peranan
penting dalam pemikirannya. Dalam puisi Im Namen dessen („Atas Nama
Dia“) ia memaparkan, betapa seluruh alam hanya merupakan variasi dari Sang
Satu atau keillahian. Bahwa ciptaan tidak pernah terpisah dari pencipta,
dan bahwa Ia senantiasa mewujudkan diri dalam ciptaanNya. Segala sesuatu
menurut Goethe serba teratur dan bermakna, tiada yang kebetulan. Dan Ia juga
yang menjadi dasar dari apa yang memberi makna kepada kehidupan manusia,
yakni: Agama, saling percaya, kasih, karsa, dan tenaga.
Salah satu keyakinan dasar lain, Goethe sampaikan dalam
puisi Was wär' ein Gott („Apa Artinya Tuhan“). Di situ ia menyebutkan,
bahwa juga di dalam terdapat semesta, yakni sebuah mikrokosmos yang
sejajar dengan makrokosmos dan juga bersifat keillahian. Dalam puisi Vermächtnis
(Wasiat) ditambahkannya bahwa justeru dalam mikrokosmos itu,
dalam diri manusia, terdapatkan inti atau pusat yang mencerminkan keillahian
serta keteraturan kosmos, yaitu hati nurani manusia: Kini segeralah menuju
diri:/Di sana kan kau temukan inti, […] sang nurani yang mandiri/menjadi
matahari bagi hariadabmu. Goethe juga yakin, bahwa baik alam maupun
manusia senantiasa harus bergerak dan berubah. Tak mungkin dan tak
boleh ada stagnasi atau kejumudan. Dalam puisi Eins und Alles
("Satu dan segalanya") Goethe mengingatkan: Sang Abadi
berkarya dalam tiap insan/Karena segala harus runtuh sirna,/Jika hendak
bertahan dalam Ada.
Sebagaimana sudah kami singgung di atas, Goethe tidak
merasa terikat oleh suatu konsep tertentu bila ia membicarakan perihal
"keillahian". Terkadang ia menyebutkan Tuhan atau Bapa,
terkadang pula Sang Abadi dalam arti sesuatu yang abstrak dan
bukan-pribadi. Terdapat pula istilah seperti ruhdunia, Sang Ada,
dewa, dan sebagainya. Monoteisme, politeisme, panteisme, panenteisme,
reinkarnasi, semuanya dapat ditemukan dalam karya-karya Goethe, termasuk
puisinya. Juga unsur berbagai agama, baik Islam maupun Nasrani. Hal ini
mengakibatkan, bahwa penganut dari sekian agama, kepercayaan, atau aliran
mengklaim bahwa Goethe adalah "seorang dari mereka". Padahal, Goethe
tak mungkin dikelompokkan begitu saja. Ia seorang pencari yang jujur dan merasa
berhak dan wajib untuk senantiasa berubah, termasuk dalam pendapat-pendapatnya.
Namun, dasar-dasar keyakinannya tidak berubah. Salah satu darinya jelas kentara
pada awal puisi Vermächtnis (“Wasiat”) yang juga mengandung himbauan
Goethe kepada manusia:
Tiada makhluk runtuh jadi tiada!
Sang Abadi tak henti berkarya dalam segala,
Pada sang Ada lestarikan diri tetap bahagia!
Abadilah ia: karena hukum-hukum suci
Melindungi khasanah-khasanah hayati,
Dengannya semesta menghias diri.
Betapa penuh kepercayaan, betapa penuh
harapan!
Pengulasan sepintas dan memang terpaksa kurang mendalam
atas berbagai puisi Goethe yang dimuatkan dalam buku ini kiranya pantas
diakhiri dengan sebuah puisi indah, sekaligus sarat makna, yaitu Wär nicht
das Auge sonnenhaft (“Andai Sang Mata Tak Bersifat Mentari”). Puisi itu
ditulis Goethe sebagai pembukaan Teori Warna, karya ilmiah
Goethe yang legendaris itu. Hal ini sama sekali tidak mengherankan. Goethe
tidak mengenal perbedaan antara kebenaran sains dan agama, dan baginya tak ada
juga cara berbeda untuk menemukan kebenaran itu. Yang ia anggap prasyarat untuk
menemukan jalan kepada kebenaran, secara tidak langsung disampaikannya
dalam puisi tersebut:
Andai sang mata tiada bersifat mentari,
Mentari tak sanggup dilihat olehnya;
Andai dalam diri tiada daya Ilahi,
Bagaimana keilahian sanggup birahikan kita?
*
Menerjemahkan puisi Goethe merupakan tantangan besar dan
kiranya hanya sanggup dilakukan secara bersama oleh seorang penutur asli bahasa
Jerman yang pencinta puisi dan seorang penyair Indonesia. Namun, dengan cara
demikian pun tidak selalu terjamin bahwa keindahan puisi Goethe dapat
dijelmakan dalam terjemahan Indonesia. Keindahan sebuah puisi adalah hasil dari
kesatuan isi dan bentuk. Khususnya perihal bentuk pada banyak puisi Goethe,
yaitu dipilihnya metrum tertentu serta pentingnya rima akhir pada tiap baris.
Hal ini ternyata sangat sulit untuk ditransfer ke dalam Indonesia yang memiliki
„alat puitis“ yang begitu berbeda daripada bahasa-bahasa Eropa. Sehingga perlu
diakui, bahwa bentuk khusus dalam banyak puisi Goethe tidak berhasil kami
pindahkan ke dalam terjemahan kami. Oleh sebab itu, diupayakan
untuk memberi „bentuk puitis Indonesia“ yang dianggap sepadan atau patut bagi
puisi Goethe. Sehingga akhirnya saya cukup puas atas hasil terjemahan kami, dan
merasa bahagia melihat puisi Goethe yang kini berpakaian Melayu yang indah
juga. Untuk itu saya sampaikan penghargaan dan rasa terima kasih kepada sahabat
saya Agus R. Sarjono, koeditor dan rekan saya dalam proses penerjemahan. Semoga
upaya kami berdua dalam rangka menerjemahkan puisi Jerman ke bahasa Indonesia
akan berlanjut!
Bonn, April 2012
Daftar Pustaka
Conrady, Karl Otto. 1999. Goethe – Leben und Werk,
Düsseldorf und Zürich
Goethe, Johann Wolfgang von. 1981. Werke in zwei
Bänden. Herausgegeben von Herbert Reinoß unter Mitwirkung von Wolfdietrich
Rasch. 1981 Carl Hanser Verlag München und Wien.
Mommsen, Katharina. 2001. Goethe und der Islam.
Frankfurt am Main
Seiling, Max. 1988. Goethe als Esoteriker. Neuwied
Wilpert, Gero von. 1998. Goethe-Lexikon. Stuttgart
Post a Comment