Top Menu

PUISI-PUISI ALIHBAHASA OLEH JJ. KUSNI



GACELA CINTA SIA-SIA

malam menolak tiba
kau pun tak datang
sedang aku tak bisa menjelang
tapi aku kan berangkat juga
kendati pelipisku mesti makan matahari kalajengking.
dan belakangan kau menyusul datang
dengan lidah dibakar hujan garam
siang menolak datang
kau luput dari pandang
sedang aku juga terhalang
tapi aku akhirnya datang juga
menyerahkan ke tunanetra anyelirku yang cedera
malam dan siang menolak datang
akhirnya aku mati untukmu
dan kau pun mati untukku


GACELA SOUVENIR ASMARA

jangan bawa kenanganmu
biarkan ia sendiri di hatiku
gemetar pepohonan céri putih
dalam martir bulan januari
sebaris tembok mimpi buruk
memisahkan aku dari maut
setangkai leli langka kupersembahkan
bagai hadiah bagi hati yang beku
di taman saban malam, mataku
ibarat dua ekor anjing perkasa
sepanjang malam mengepung meronda
pojok demi pojok dan segala bisa
angin terkadang bagaikan
kembang tulip kengerian
dialah kembang tulip duka
kerna pagi beku musim dingin
sebaris tembok mimpi buruk
memisahkan aku dari maut
kabut menyelimut keheningan
lembah kelabu tubuhmu
di bawah lengkung perjumpaan dahulu
belukar racun sekarang menghutan
tapi tinggalkan untukku kenanganmu
biarkan sendiri ia di situ di kalbuku

Alihbahasa: JJ. KUSNI
Sumber: Federico Garcia Lorca,”Poésies III. 1926-1936″, Gallimard, Paris,
1954,hlm.155.


KASIDA MAWAR

mawar
tak mengejar fajar:
hampir abadi di dahannya,
hal lain yang disasar
mawar
tak memburu ilmu dan bayang:
dihalang jasad dan angan
hal lain yang dipegang.
mawar
tak mengejar mawar,
tak beranjak dari langit
hal lain yang bangkit



SENANDUNG UNTUK MERCEDES YANG MATI

demikianlah kau pun tidur
di perahu kayumu di pinggir tebing
pangeran puteri putih tak tertanding!
tidur dalam malam yang dalam,
tubuh bumi dan salju!
tidur dalam fajar warna putih! tidurlah!
dan demikianlah kau pun kian menjauh tertidur
di perahu kabut tipis dan mimpi sepanjang tebing!


KASIDA TANGAN TAK TERGAPAI

tak ada lain yang kuingini kecuali satu tangan, tangan ini
sebuah tangan luka — inipun jika mungkin terjadi
tak ada lain yang kuingini kecuali satu tangan, tangan ini
kendatipun ribuan malam tiada ranjang kumiliki
tangan itu adalah kembang leli putih warna kapur
tangan itu adalah merpati tertambat di hatiku,
tangan itu adalah pengawal malam kematianku
yang tegas melarang bulan masuk menyerbu
tak ada lain yang kuingini kecuali tangan, tangan ini
yang kujadikan minyak hari-hari
dan sprei putih kematianku.
tak ada lain yang kuingin kecuali tangan, tangan ini
untuk menyangga sebuah sayap kematianku.
selebihnya berlalu
warna merah cacat muka pun sudah tak bernama, bintang kekal.
selebihnya adalah yang lain: angin duka,
sedangkan dedaunan berhamburan melayang

Alihbahasa: JJ.KUSNI
Sumber: Federico Garcia Lorca, “Poésies III. 1926- 1936″, Editions
Gallimard, Paris, 1954.



IV.KASIDAH PEREMPUAN TIDUR
Oleh Federico Garcia LORCA

Telanjang kau berbaring, mengingatkan pada Bumi
Bumi yang licin dan kuda-kuda perawan,
Bumi licin tanpa kemerut, murni ujud,
tertutup ke haridepan: berbatasan perak.
Aku melihatmu telanjang, kupahami lalu kecemasan
hujan mencari benih-benih ranumbelia,
demam laut di wajah terbentang
tanpa menjumpai kilau permainan.
Melalui ranjang-ranjang darah menggelora
dan datang merengkuh besi-besinya mengkilat,
tapi di mana berlindung akupun tak tahu
untuk jiwaku cacat atau lembayung.
Perutmu adalah pertarungan mengakar,
bibir-bibirmu adalah fajar tanpa kontur.
Di bawah mawar-mawar hangat ranjangmu
Ajal menritih menunggu giliran


V. KASIDA MIMPI DI LANGIT TERBUKA

Bunga jasmin dan banteng di sembelih.
Jalan tak berujung. Kartu. Ruangan. Harpa. Dan dinihari.
Gadis kecil membayangkan seekor banteng dari bunga jasmin
Dan banteng itu adalah senja berdarah yang menjerit
Kalau langit adalah anak kecil yang begitu mungil
bunga-bunga jasmin menjadi seorang perempuan yang berduka,
Dan banteng itu sirkus biru tanpa pertarungan
dengan jantung di kaki sebatang tiang
Tetapi langit adalah seekor gajah,
bunga jasmin adalah air kekurangan darah
sedangkan gadis adalah serangkum nokturno
di atas jalan besar yang buram.
Antara bunga jasmin dan banteng
cantolan-cantolan gading ataqu orang-orang terlena.
Dalam bunga jasmin seekor gajah dan gemawan,
dalam banteng kerangka badan gadis kecil


VI. KASIDAH TANGAN YANG SIA-SIA

Aku hanya menginginkan sebuah tangan
Hanya tangan yang lukaa, kalau bisa.
Saya hanya menginginkan sebuah tangan,
walaupun seribu malam aku tak beranjang.
Ranjang itu adalah ranjang putih kapur
ia semestinya seekor merpati yang tertambat di jantungku,
ia semestinya penjaga malam kematianku
yang mutlak melarang bulan menyusup.
aku bagai minyak hari-hari
dan sprei putih ajalku.
Aku hanya menginginkan tangan ini
Penopang sayap-sayap kematianku.
Selebihnya biarkan.
Tanpa nama sudah kemerahakan wajah, bintang abadi.
Selebihnya adalah soal lain: angin nestapa,
Sementara dalam gerombolan dedaunan berlari


VIII. KASIDAH GADIS KENCANA

Gadis kencana
mandinya di air
dan air kencana
Ganggang laut, dedahanan
Cemburu dalam bayangan
dan rosinyol
untuk gadis putih
yang menyanyi
Tibalah cahaya malam
bagai tembaga yang buruk,
gunung-gunung terkelupas
di bawah kelam yang pecah.
Gadis itu basah
Putih dalam air,
Dan air bagai nyala.
Datang fajar tanpa cela
– seribu mongong lembu –
dalam kain kafan kaku,
terangkai
beku
Gadis kecil itu meratap
mandi dalam api,
dan burung-burung rosinyol
terbakar sayap-sayapnya,
menangis.
Gadis kencana
Adalah burung bangau
putih, di air kencana
Alihbahasa JJ. Kusni

Sumber: Federico Garcia LORCA, “POESIES III 1926-1936”,
Editions Gallimard, Paris, 1954




1.KASIDAH ANAK YANG DILUKAI AIR

Aku ingin turun hingga ke sumur,
aku ingin memanjat tembok-tembok Granada
untuk melihat hati yang lobang
oleh bor air yang hitam.
Anak luka merintih
bermahkotakan kebekuan
Tempayan, tangki dan fonten
di tengah angin mengacungkan pedang-pedang mereka.
Ai, alangkah ganasnya cinta, alangkah melukainya tikaman,
wahai berita burung malam, alangkah putihnya ajal!
Betapa lengangnya cahaya melengkung
pasir-pasir pagi!
Anak itu sendiri
Bersama kota yang terlena di lehernya.
Secercah air memercik dari dukanya
yang membelanya dari lapar ganggang laut.
Anak itu dan ajalnya hadap-hadapan,
Bagaikan dua hujan hijau lilit-melilit.
Anak itu terbujur di bumi
dan ajal bersandar kepadanya
Aku ingin turun ke sumur ,
Aku ingin, di garis-garis lempang , membunuh ajalku ,
Aku ingin mengisi buih jantungku,
demi anak yang dilukai air

III. KASIDAH DEDAHANAN

di bawah pepohonan Tamarit
anjing-anjing timah berdatangan tiba
menunggu jatuhnya dedahanan
menununggu remuknya kesendirian
Pohon Tamarit mempunyai sebatang apel
dihasebuah apel sedu-sedan.
Burung rosinyol bernafas lega
Dihalau debu kuau berlalu
Tapi dedahanan punya kegembiraan mereka,
dedahanan bagaikan kita.
Lupa hujan lalu terlena
dengan segera, demikianlah dedahanan.
Di lutut-lutut mereka menggenang air
dua lembah menunggu musim gugur.
Remang-remang di jejak gajah
menggerakkan dahan dan pohon-pohon
Di bawah pepohonan Tamarit
banyak anak bertutup cadar,
menunggu jatuhnya dedahananku,
menunggu remuknya kesendirian.

1.KASIDAH ANAK YANG DILUKAI AIR

Aku ingin turun hingga ke sumur,
aku ingin memanjat tembok-tembok Granada
untuk melihat hati yang lobang
oleh bor air yang hitam.
Anak luka merintih
bermahkotakan kebekuan
Tempayan, tangki dan fonten
di tengah angin mengacungkan pedang-pedang mereka.
Ai, alangkah ganasnya cinta, alangkah melukainya tikaman,
wahai berita burung malam, alangkah putihnya ajal!
Betapa lengangnya cahaya melengkung
pasir-pasir pagi!
Anak itu sendiri
Bersama kota yang terlena di lehernya.
Secercah air memercik dari dukanya
yang membelanya dari lapar ganggang laut.
Anak itu dan ajalnya hadap-hadapan,
Bagaikan dua hujan hijau lilit-melilit.
Anak itu terbujur di bumi
dan ajal bersandar kepadanya
Aku ingin turun ke sumur ,
Aku ingin, di garis-garis lempang , membunuh ajalku ,
Aku ingin mengisi buih jantungku,
demi anak yang dilukai air

III. KASIDAH DEDAHANAN

di bawah pepohonan Tamarit
anjing-anjing timah berdatangan tiba
menunggu jatuhnya dedahanan
menununggu remuknya kesendirian
Pohon Tamarit mempunyai sebatang apel
sebuah apel sedu-sedan.
Burung rosinyol bernafas lega
Dihalau debu kuau berlalu
Tapi dedahanan punya kegembiraan mereka,
dedahanan bagaikan kita.
Lupa hujan lalu terlena
dengan segera, demikianlah dedahanan.
Di lutut-lutut mereka menggenang air
dua lembah menunggu musim gugur.
Remang-remang di jejak gajah
menggerakkan dahan dan pohon-pohon
Di bawah pepohonan Tamarit
banyak anak bertutup cadar,
menunggu jatuhnya dedahananku,
menunggu remuknya kesendirian.


Post a Comment

Designed by OddThemes | Distributed by Gooyaabi Templates