Top Menu

Sajak-Sajak W.S Rendra dari Buku Ballada Orang-orang Tercinta (1957 dan 1993)


Ballada Kasan dan Patima

Bila bulan limau retak merataplah Patima perawan tua.

Lari ke makam tanah mati
buyar rambutnya sulur rimba
di tangan bara dan kemenyan.

Patima! Patima:
susu dan mata padat sihir
lelaki muda sepikan pinangan
dipanasi ketakutan guna-guna

Patima! Patima!
ditebahnya gerbang makam
demi segala peri dan puntianak
diguncangnya segala tidur pepokok kemboja
dibangunkan segala- arwah kubur-kubur rengkah
dan dengan suara segaib angin padang belantara
dilagukan masmur dan leher tembaga
mendukung muka kalap tengadah ke pusat kutuk:
- Duh, bulan limau emas, jejaka tampan
desak-desakkan wajahmu ke dadaku rindu
biar pupus dendam yang kukandung
panas bagai lahar, bagai ludah mentari.
- Patima yang celaka! Patima!
duka apa, siksa apa?
- Peri-peri berapi, hantu-hantu kelabu
himpun kutuk, sihir dari angin parang telanjang
dan timpakan atas kepala Kasan!
- Akan rontok asarn dan trembesi berkembang
kerna Kasan lelaki bagai lembu, bagai malam
dosa apa, laknat apa?
-Perihnya, perihnya! Luka mandi cuka
Kasan tinggalkan daku, meronta paksaku
terbawa bibirnya lapis daging segar mentah
penghisap kuat kembang gula perawan.

Dan angin berkata:
- Berlindung tudung senja mendung
berkendara pedati empat kuda
bersama anak bini ke barat
kota di tanah rendah
- Dan ditinggalkan daku bersama berahi putih
membelai kambin,.;-kambing jantan di kandang.

(Oleh nyalanya Patima rebah).

Beromong angin, dedaun gugur dan rumputan:
- Bini Kasan ludahnya air kelapa.
- Dan mata tiada nyala guna-guna.
- Anaknya tiga putih-putih bagai ubi yang subur.
- Kasan, ya, Kasan! Kutahu siapa Kasan!
pada malam bintang singgah di matanya
lelaki semampai berdarah panas
di dadanya tersimpan beberapa wajah perawan
dan di atas diriku ini kusaksikan
lima dara begitu pasrah dalam pejam mata
berikan malam berbunga, rintihnya bagai nyanyi
dan Kasan mendengus bagai sapi.
- Kutuknya menunggu pada Patima!
- Tanpa cinta diketuknya jendela perawan tua itu.
- Datang kutuknya! Datang kutuknya!
- Patima menguncinya bagi hati sendiri
sekali dirasa diperturutkannya didamba bagai bunga, diusapi bulu kakinya
bagi dirinya cuma! bagi dirinya cuma!
: maunya.
- Datang kutuknya! Datang kutuknya!
- Dan kini ia lari kerna bini bau melati
lezat ludahnya air kelapa.

Bau kemenyan dan kemboja goncang
bangkit Patima mencekau tangan reranting tua
menjilat muka langit api pada mata
dilepas satu kutuk atas kepala Kasan! Ya, Kasan!

Dan Kasan berkendara pedati empat kuda
terenggut dari arah dalam buta mata
terlempar ke gunung selatan tanah padas
meraung anak bini, meringkik kuda-kuda
dan semua juga kuda dikelami buta mata.
Datang kutuknya! Datang kutuknya!
Pada malam-malam bergemuruh di tanah kapur selatan
deru bergulung di punggung gunung-gunung
bukan deru angin jantan dari rahim langit
: deru. Kasan kembara berkendara pedati empat kuda
larikan kutuknya lekat, kecut cuka panas bara.

Ballada Lelaki-lelaki Tanah Kapur

Para lelaki telah keluar di jalanan
dengan kilatan-kilatan ujung baja
dan kuda-kuda para penyamun
telah tampak di perbukitan kuning
bahasa kini adalah darah.

Di belakang pintu berpalang
tangis kanak-kanak, doa perempuan.

Tanpa menang tiada kata pulang
pelari akan terbujur di halaman
ditolaki bini dan pintu berkunci.

Mendatang derap kuda
dan angin bernyanyi :
-’Kan kusadap darah lelaki
terbuka guci-guci dada baja
bagai pedagang anggur dermawan
lelaki-lelaki rebah di jalanan
lambung terbuka dengan geram serigala!

O, bulu dada yang riap!
Kebun anggur yang sedap!

Setengah keliling memagar
mendekat derap kuda
lalu terdengar teriak peperangan
dan lelaki hidup dari belati
berlelehan air amis
mulut berbusa dan debu pada luka.

Pada kokok ayam ke tiga
dan jingga langit pertama
para lelaki melangkah ke desa
menegak dan berbunga luka-luka
percik-percik merah, dada-dada terbuka.

Berlumur keringat diketuk pintu.
- Siapa itu?
- Lelakimu pulang, perempuan budiman!

Perempuan-perempuan menghambur dari pintu
menjilati luka-luka mereka
dara-dara menembang dan berjengukan
dari jendela.

Lurah Kudo Seto
bagai trembesi bergetah
dengan tenang menapak
seluruh tubuhnya merah.

Sampai di teratak
istri rebah bergantung pada kaki
dan pada anak lelakinya ia berkata:
- Anak lanang yang tunggal!
kubawakan belati kepala penyamun bagimu
ini, tersimpan di daging dada kanan.

Post a Comment

Designed by OddThemes | Distributed by Gooyaabi Templates