Top Menu

5 Puisi yang Tak Tergantikan



Versi Ratih Kumala pada 12 April 2008

A poem a day will keep the doctor away.
-rk-

Inilah kenyataan umum yang saya tahu jika saya kebetulan bertemu dengan orang-orang yang jatuh cinta pada kata-kata: mereka membaca puisi. Kisah cinta saya pada sastra juga diawali perkenalan dengan puisi. Ketika itu, saya belum punya napas yang cukup panjang untuk menyelesaikan sebuah cerpen (apalagi novel). Saya menulis puisi-puisi pendek di buku harian saya tentang tema-tema sederhana, misalnya tentang dompet merah yang hilang. Ketika itu saya masih SMP. Dulu, saya pikir, menulis puisi itu gampang. Ternyata, lama kelamaan bagi saya menulis puisi lebih sulit dibanding menulis prosa. Maka itu, sekarang saya tahu diri; tidak menulis puisi. Sampai sekarang saya masih heran dengan mereka yang bilang bahwa menulis puisi itu gampang, bagi saya menulis puisi itu pekerjaan berpikir yang tak selesai-selesai.

Ada puisi-puisi yang bagi saya tak tergantikan. Puisi-puisi yang di awal pembelajaran penulisan saya sering menemani saya, terus menerus, dan membuat saya jatuh cinta pada sastra. Meniru acara tv E! Count Down, saya ingin menghitungnya dari yang nomor lima dan terus membuncit hingga nomor satu:

Puisi Nomor 5: “Sakramen” karya Warih Wisatsana
Puisi ini ada di buku Ikan Terbang Tak Berkawan (penerbit Kompas). Seseorang memperkenalkan pada saya buku ini. Sejak itu, saya tak bisa berhenti membacanya. Saat pertama saya bertemu Warih di Popo Danes Art Veranda, Denpasar (kira-kira tiga tahun lalu, waktu itu kebetulan acaranya Putu Fajar Arcana dan saya diminta jadi pembaca cerpennya), saya menyempatkan diri membacakan puisi ini untuknya. Ini juga puisi terpanjang yang saya hapal. Ini petikan “Sakramen” (aselinya lebih panjang lagi):

Tubuhmu menyimpan badai dini hari
Aku burung nasar
malaikat ingkar
kehilangan pulau kecil
di teluk jauh terpencil.

Aku lewati gurun keramat
engkau seberangi
gaung murung lonceng
awal sesal yang kekal
akhir riang yang tak terbayang.

[...]

Nomor 4: “Taman” karya Chairil Anwar
Setelah mengenal Chairil lebih dekat di sekolah, saya baru sadar, bahwa saya tidak terlalu menikmati puisi “Aku”. Saya justru suka sekali dengan puisi ini (dimuat di buku Aku Ini Binatang Jalang, Penerbit GPU):

Taman

Taman punya kita berdua
tak lebar luas, kecil saja
satu tak kehilangan lain dalamnya.
Bagi kau dan aku cukuplah
Taman kembangnya tak berpuluh warna
Padang rumputnya tak berbanding permadani
halus lembut dipijak kaki.
Bagi kita bukan halangan.
Karena
dalam taman punya berdua
kau kembang, aku kumbang
aku kumbang, kau kembang.
Kecil, penuh surya taman kita
tempat merenggut dari dunia dan ‘nusia

(Maret 1943)


Nomor 3: “A Word is Dead” karya Emily Dickinson
Dickinson adalah salah satu dari banyak penyair yang paling saya kagumi. Ada banyak puisinya yang saya suka, dan sulit bagi saya untuk memilih satu di antaranya. Beberapa puisinya pun, kadang sengaja saya kutip untuk kartu ucapan untuk teman. “A Word is Dead” bagi saya adalah penyemangat untuk terus menulis, maka layak jika saya memilih puisi ini sebagai favorit saya:

A Word is Dead

A WORD is dead
When it is said,
Some say.
I say it just
Begins to live
That day.

Nomor 2: “Cinta Telah Tiba” karya Joko Pinurbo
Sebagaimana Emily Dickinson, saya kesulitan memutuskan puisi mana dari Jokpin yang paling saya sukai, terutama dari buku Kekasihku (penerbit KPG). Jadi, jika saya harus memilih satu puisi, maka pilihan saya (tentu saja) jatuh pada puisi ini (dimuat di buku Kepada Cium, penerbit GPU):

Cinta Telah Tiba
untuk eka dan ratih

cinta telah tiba
sebelum kulihat parasnya
di musim semi wajahmu

telah menjadi kita dan kata
saat kucicipi hangatnya
di kuncup rekah bibirmu

kian dalam dan tak terduga
saat kuarungi arusnya
di laut kecil matamu

(2006)

Nomor 1
“Stopping by Woods on a Snowy Evening” karya Robert Frost
Dari dulu, saya selalu menyukai Robert Frost. Dua puisinya yang tak bisa pergi dari pikiran saya adalah “The Road Not Taken” dan “Stopping by Woods on a Snowy Evening”. Saya kesulitan menentukan mana di antara dua itu yang paling saya suka. Akhirnya, setelah saya baca-baca ulang dan menimbang-nimbang, saya memutuskan lebih suka “Stopping by Woods on a Snowy Evening”.

Stopping by Woods on a Snowy Evening

Whose woods these are I think I know.
His house is in the village though;
He will not see me stopping here
To watch his woods fill up with snow.
My little horse must think it queer
To stop without a farmhouse near
Between the woods and frozen lake
The darkest evening of the year.
He gives his harness bells a shake
To ask if there is some mistake.
The only other sound’s the sweep
Of easy wind and downy flake.
The woods are lovely, dark and deep.
But I have promises to keep,
And miles to go before I sleep,
And miles to go before I sleep.

Sejujurnya, masih banyak puisi dari penyair lain yang saya sangat sukai, ada Goenawan Mohammad, Sapardi Djoko Damono, Elizabeth Barrett Browning, E.E. Cummings, dll. Tapi saya sudah terlanjur membatasi diri untuk memilih lima saja -jadi rada nyesel :( -. Itu pun sudah saya batasi satu puisi, satu penyair. Biar adil.

Sumber: http://ratihkumala.com/blog/5-puisi-yang-tak-tergantikan-106.php

Post a Comment

Designed by OddThemes | Distributed by Gooyaabi Templates