“Serupa
pintu yang menyimpan deritnya, begitulah semestinya cinta di-sajak-kan.”
Setelah matahari menutup jendela
para pekerja siang hari, Sri menulis Status (senyum)-nya. Di tempat yang
diam-diam menggerakkan roda-roda karat di kepala Selendang Hitam Berdarah,
kata-kata bermain di atas meja bersama cangkir-cangkir. Ia menjadi pertanyaan
Selendang pada Sri:
“sudah
berapa kali jatuh cinta ir...”
Barangkali, Sri sedang mengupas
buah mangga muda, hawanya terasa kecut. Sembari ia bergumam di bibir pisau, “serupa Selendang motif
batik yang kucari-cari di beringharjo, begitu susahnya mencari kualitas nomor
satu, tapi ternyata Sumbi memang benar-benar nyata, ir. maukah kamu mencuri
selendangnya untukku?” Ternyata, Sri juga meminta sesuatu pada yang entah
di dalam buah mangga yang masih bayi.
“sumbi itu
hanya hayalanmu saja ir... dia itu hantu...”
tiba-tiba, Selendang Hitam Berdarah berbisik
pada selendangnya. Selendangnya terbang menjadi buah mangga yang ranum,
aromanya terasa manis. Dengan cepat tanpa siasat dan aba-aba, Sri melepaskan
pisau dan buah mangga muda yang di kupasnya. Dia membujuk angin petang yang
lembab, “masuklah ke dalam kamarmu, kunci
pintu rapat-rapat, lalu, lalu ia akan datang dan terselip di buku-buku catatan
harianmu. tengoklah bila tak percaya.”
Dia serupa memaksa.
“tidak
ada, catatan harianku itu bukan hayalan orang-orang pecandu tubuh batu dan
gelap. di catatanku penuh dengan kebusukan hidup yang dipoles dengan
kepura-puraan. tawa bahak yang bising di gedung teater, dan di
panggung-panggung puisi yang menyesatkan pembaca yang budiman,”
serupa khotbah di kali gajah wong
kotor di musim kemarau Selendang
Hitam Berdarah bicara dengan kukunya.
Hingga akhirnya, Shohifur Ridho Ilahi tertawa,
“hahahaha, begitukah, ir? hem.” dan
entah dia sudah menangkap buah mangga manis yang terbang di udara sebelum malam
benar-benar gelap?
Entahlah.
Blandongan, 4 Oktober 2012
Post a Comment