Beberapa pilihan puisi Lan Fang
dalam Ghirah Gatha
Judul : Ghirah Gatha
Penulis : Lan Fang (1970 –
2011)
Cetakan : I, 2011
Penerbit : PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Tebal : viii + 60 halaman (17
judul puisi)
ISBN : 978-979-22-8106-4
Waktu
dari waktu ke waktu
aku kian tu
a
dari waktu ke waktu
cintaku tetap mu
da
dari waktu ke waktu
menunggu
nya
Bagai
aku menantikanmu bagai tetes tirta
di pasir,
bagai kesunyataan hujan tanpa air,
zikir tanpa akhir.
aku mencintaimu bagai laut,
bagai induk semua anak sungai,
muara semua kabut.
aku merindukanmu bagai pengembara
cakrawala,
: sedang kau bagaimana?
Sangat Bukan
apakah kau: angin yang melekat
pada kaca pintu?
sangat
bukan,
aku pintu, tempat syair
menumpahkan ragu.
kalau begitu apakah kau: keraguan
yang dipanah rindu?
sangat
bukan,
aku rindu yang melayari waktu demi
waktu
jadi apakah kau: waktu yang
tersulut sumbu
sangat
bukan,
aku
sumbu bulan dari celah kelambu.
6 Sonet Bunga Tidur (6)
sudah berapa malam kau tak
berkunjung. pasti kau sedang sibuk.
maka, mataku tak bertabir gula.
rupanya kau meneropong bintang.
tolong, ambilkan satu saja
untukku. biarkan yang lain, sayang.
sebab di plafon, para tikus
berpesta sampai gaduh. gludak gluduk.
“kenapa tak menyukai mereka? maaf,
bila tak berkenan,” kau selalu sopan.
aku hanya cemas : apakah
tikus-tikus bisa dijadikan sonet yang rupawan?
mereka hanya kusir kereta labu
Cinderella, pengerat kayu yang berisik sekali.
di mana akan kau sematkan sebiji
bintang itu? di rambut atau di jantung hati?
telah kurangkai kembang setaman.
sebab banyak rahasia yang kita simpan.
semua hanya untukmu. sebab
bertambah malam mata harus semakin awas.
abrakadabra! ingin kumusnahkan kutuk itu agar kita
tidak berbeda pikiran.
kini jangan marah bila kutarik
empat larik. kau nafas yang tak akan kulepas.
sekarang aku (ingin) merebahi
pundakmu. ciumlah mataku.
kelopak dan bulumataku. kau
akan menemukan banyak sonet di situ.
Sebuah Pagi
pada sebuah pagi yang sumringah.
burung-burung singgah
mematuki bebijian seperti memetik
putik-putik puitik,
lalu mereka memeluk suluk untuk
mewuwung suwung
Tangis Belibis
(1)
teduh, suara subuh.
sepi, bunyi tubuh.
gerimis mendenting hening
dan Kau begitu bening.
(2)
kepada kesepiankah kita berpulang?
Atau kita ingin kesepian itu
datang?
di dalam kesepian, para malaikat
menemani
bocah-bocah menari di atas ngangga1 malam.
para
malaikat berjubah tembus cahaya.
para
malaikat yang memberikan sepasang
sayap ketika
bocah-bocah itu menginginkannya.
para
malaikat yang memahkotai mereka
dengan mawar tak berduri, mahkota
yang tak melukai.
“sekarang kami peri!” mereka
melonjak-lonjak tak mau
pergi dari waktu kanak-kanak di mana
langit selalu jingga.
apakah kita salah satu di antara
mereka? tidak! kita hanya
anak-anak bisu yang lahir dari
malam berbatu.
tiba-tiba sungai waktu berseru
“lekas! kalian sudah
menua,” daun-daun berkemas, kering
lalu lepas.
tetapi kau tak mengajakku
bergegas.
(sungguh tidak kusangka
ternyata usia tidak berbau)
kita pun terpasung pada palung
terpanjang, tersepi.
sssttt..., puisi sedang berbunga,
di sini.
(Ket. 1.
bolak-balik saya menduga makna kata ini, apakah sebuah kata yang tak saya
ketahui maknanya atau cuma salah cetak: antara nganga atau gangga. Akhirnya
saya putuskan tetap ngangga, persis sama dengan di buku)
(3)
aku ini malam
tahukah kau kalau malam terbuat
dari purnama
bundar yang memudar? ada perempuan
berdada
asap yang menyerap pendar bintang.
sepasang matanya
yang berasap juga mengirimkan
pesan,
“mari bersulang di kaki rupang.”
itulah pesan yang belum mampu
kueja. tetapi ia
tetap setia beranjali, bermudra,
dan membakar dupa
untuk menjerat sekerat cahaya.
maka malam pun gelap, segelap aku.
aku pun remuk,
seremuk asap. asap yang masih
setia bermoksa.
(4)
suara subuh menjelma teduh. lantai
begitu dingin.
tetapi gorden kamar diam saja,
tidak bergeming.
kutajamkan telinga. ada Sesuatu
sedang merayapi
dinding, cermin, meja rias,
lemari, ranjang, lalu
menelusup pada setiap titik pori,
mengakrabiku.
azan Jogya dibalut gerimis. tetapi
di sini lampu
handphone berkedip-kedip: “silakan subuhan.”
kubalikkan tubuh ke kiri, ada
jarak yang terlampaui.
aku gembira: “apakah kau bangun
untuk Sesuatu?”
rasakan Sesuatu mengajak kita
bercakap! bukan suara
tik tok jam dinding atau suara
dengung AC. tetapi suara
Sesuatu dalam desir darah. aku
sedang mengumpulkan
suara sebanyak-banyaknya. baik, kumpulkan juga isak
teratai di ujung subuh. jangan
lupa!
(5)
seorang musafir menyiarkan syair,
“oh, Roh, betapa aku
tersiksa puisi cinta. cinta yang
terbakar bersamaMu.”
ketika itu ada yang berteriak dan
ada yang tersumbat,
ada yang bergerak dan ada yang
merambat, ada Badai
Cahaya, Hujan Cahaya, Wangi
Cahaya, Cahaya di Atas
Cahaya “aum mani padme hum.”
ketika itu ada
seekor belibis menangis.
Tentang Lan Fang
Go Lan Fang atau biasa dikenal dengan
Lan Fang terlahir di Banjarmasin, 5 Maret 1970. Alumni Fakultas Hukum
Universitas Surabaya. Sejak sekolah dasar imajinasinya mulai berkembang dengan
buku-buku dari Enid Blynton, Laura Ingals Wilder, atau sekadar majalah
anak-anak, seperti Bobo dan Donal Bebek. Cerita pendek yang pertama dikirimnya:Catatan
Yang Tertinggal langsung dimuat di majalah Anita Cemerlang pada tahun
1986. Langsung terlecut, pada periode 1986-1988, ia pun cukup banyak menulis
cerpen remaja yang bertebaran di majalah-majalah remaja seperti Gadis, dan
terutama Anita Cemerlang. Konon, kebanyakan cerpen yang tulisnya bernapaskan
cinta dengan banyak pengaruh tulisan Kahlil Gibran. Lan Fang aktif berkesenian
setelah di Surabaya. Ia meninggal di Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura
pada tanggal 25 Desember 2011 dalam usia 41 tahun. Ia meninggalkan tiga orang
putra kembar yang masih berusia 13 tahun. Dua putra bernama Vajra Viria Husala
dan Vajra Vidya Husala serta seorang putri bernama Vajra Yeshi Husala.
Buku-buku yang telah diterbitkannya: Reinkarnasi (2003), Pai
Yin (2004), Kembang Gunung Purei (2005), Laki-Laki
yang Salah (2006), Perempuan Kembang Jepun (2006),Yang
Liu (2006), Kota Tanpa Kelamin (2007), Lelakon (2007), Ciuman Di Bawah Hujan (2010), Sonata
Musim Kelima (2012) & Kumpulan Puisi Ghirah Gatha (2012).
Dua yang terakhir diterbitkan untuk mengenang Lan Fang.
Catatan
Lain
Buku
kumpulan puisi Ghirah Gatha, disebutkan dalam pengantar, adalah
kumpulan puisi yang diterbitkan posthumous – setelah sang
pengarang meninggal dunia. Buku yang saya pegang ini tak diketahui siapa yang
menyuntingnya. Juga tak ada biodata penulisnya. Hanya dikatakan In memoriam LAN
FANG 5 Maret 1970 – 25 Desember 2011 di awal, ditambah komentar dari sahabat
dan media di bagian belakang. Hanya ada 17 (tujuh belas) judul puisi, namun
setidaknya ada 8 puisi yang dibikin secara serial (berseri), sehingga jika
diurai akan ada 51 puisi. Puisi-puisi yang berseri itu adalah: 1. Kabar
Kabut, 2. Sihir Zahir, 3. Tangis Belibis, 4. Desis
Gerimis, (masing-masing 5 seri), 5. Tapak Sajak, 6. Bayang
Wayang, (masing-masing 3 seri), 7. 9 Rubaiyat Langit dan Hujan (9
seri), dan 8. 6 Sonet Bunga Tidur(6 seri).
Post a Comment