Top Menu

13 Mei 2010: Memories of Parangtritis



-Labirin Cinta

Rianda, sungguh tiada maksud untuk memikatmu apalagi memilikimu. Hanya waktu dan kesempatan yang tiada henti-hentinya menyiram perjumpaan kita dengan bunga-bunga asmara, sampai akhirnya rerindu tumbuh bersemi diantara kebun hati kita masing-masing.

Kaupun tahu bahwa cinta bukanlan permainan perasaan hati. Namun kenapa kita selalu membuatnya main-main setiap kali kita bercakap atau ketika bertukar kata dengan SMS puitis. Meski sebenarnya itu adalah disenganja. Setipa kali kita berada diatara jarak yang meruang, rindu itu benar-benar ada di hatiku di hatiku. Hanya saja kita terlalu pandai untuk menymbunyikannuya rapat-rapat dengan kebodohan kita masing-masing.

Rianda, setidaknya kita sadar dan merasa bahwa sesuatu yang lahir dari rahim waktu tempat kita berjumpa dan tak jarang bertukar rasa dengan cerita-cerita, adalah benih-benih cinta yang kita kemas dengan pita-pita warna alasan gombal, biar tak jadi duri yang melukai diri kita dan mereka diantara kita. Hanya saja, siapa yang mampu membendung badai rindu yang anginnya membawa hawa pengap candu asmara? Tak ada! Aku tak sanggup menghadangnya.

Sempat kita bersepakat untuk tidak lagi bersandiwara dan melupakan semua yang pernah terjadi diantara kita setealah kita sama-sama bertukar cadar dan topeng yang selama itu kita pasang di wajah kita masing-masing sampai orang orang percaya dan tak pernah mengusik ketenangan kita. Namun semua yang kita rencanakan hanya sebatas pertanda bahwa kita harus benar-benar menikmati luka dan perihnya cinta bahkan rindu yang kian bergelora.

Rianda, aku kau tak pernah mengharapkan itu bukan! Tetapi kenapa semuanya harus kita rasakan? Sadarilah rianda, sungguh aku tak sanggup untuk itu. Tak sanggup rianda! Kau selalu bilang bahwa kita telah terjebak dalam labirin yang kita bangun sendiri. Namun apa tak ada cara untuk keluar darinya yang kian menyayat hidup kuita ini?
***

“Kau merasa sakit? Sakit yang sama tengah terasa juga di benakku. Dalam dan perih.” Rianda_09 Mei 2010

Akaknkah sakit itu masih berjelaga di benakmu, Rianda? Aku selalu bertanya dalam dada yang hampa dan jiwa yang nelangsa. Sakit yang dulu kau bilang nikmat dan candu, kini benar-benar tumbuh mengakar di jantung kalbu menjadi sel-sel pembuluh darah yang sublim ke dasar otak. Sebagaimana rindu yang kian meluas muara, memantra dataran menjadi lautan asmara dengan gelombang badai, menggiring serpihan nama dan rindu yang sempat kau ceritakan padaku sewaktu kita masih terbiasa bertukar senyum dan kedip manja.

Hampir aku mati rasa setiap rerindu yang terlantar dalam pada setia adamu di dekatku. Kedekatan tampa bisik isyarat dan tanda. Tampa aura purnama yang kau semat suatu waktu, katamu ada di mataku.

“bulan sabit itu telah menjela puranama, mernyelusup hangat dalam benakku, meski kini kita kembali membangun benteng yang begitu tinggi. Namun kau dan aku telah saling mengetahui dan menyimpan rapat sketsa rindu di hatiku dan hatimu” Rianda_12 Mei 2010.

Pesanmu masih abadi dalam catatan dan akan abadi dalam ingatan. Lantaran satu jannji dan kesepakatan pernah kita indahkan dalam satu rasa dan impian yang sama

Namun rianda, aku telah gagal menjadi lelaki sejati. Aku sudah terlanjur dan terlampau jauh membodohi bahasa batinku sendiri. Seharusnya aku membunuh rasa itu sebelum mekar dalam persembunyian yang muaranya hanya labirin hitam yang menyesatkan aku atau juga dirimu. Tetapi tidak apa, tiada perlu ada sesal. Sakit ini harus aku nikmati walau tak juga bersamamu.
***

“jika telah kau temukan llubang cahaya pada labirin yang kita bangun bersama. Berilah aku isyarat dan tanda untukku. Biar aku tenang abadi dalam labirin itu sendirian. Aku akan menjaganya sampai kau menemukan kebahagiaan” kepada Rianda_

Aku tidak sanggup mengartikan diammu itu, sungguh! Apa aku telah kehilangan indra tafsirku untuk membaca aura dan tatapmu. Padahal serasa aku talah pandai memaknai isyarat dan tanda. Seperti ketika kita bermain sandiwara dengan tanda-tanda dan isyarat. Masih jelas ingatanku ke masa itu. Kau bersenyum pahit dan menatap ragu padaku. Namun semua adalah bagian dari isi hatimu yang kulukis di mataku sebagai makna kata bahwa rindu dan cinta terlalu sukar untuk kau ungkapkan.

Semoga kau tak melupakannya. Satu rasa yang kita semai di lubuk hati kita masing-masing dan rindu yang kita luapkan dengan beragam perantara yang rahasia. Setelah aku berpikir, seolah seperti petak umpet sepasang kucing di belakang majikannya. Kita waktu, senang bertukar cadar dan menyimpan keinginan mendalam yang ujungnya hanya kegelisahan.

Rianda, hasrat kita ini sudah benar. Kenapa kita mesti membuangnya? Bukankah kita tidak pernah berharap cinta lahir diantara kita, berandai-andaipun belum sama sekali. Namun kenapa harus terjadi dan terjalin?. Ah, sugahlah, aku tidak mungkin mungkir akan kenyataan ini yang begitu pahit dan pedih, bahkan tetap juga harus aku telan.

Aku selalu besar hati dan yakin kaupun lebih paham tentang rasa ini. Cinta yang kita pelihara diam-diam. Karenanya kita harus menanggung beban duka dan luka yang perih. Bukankah hanya caranya saja yang keliru. Waktu dan kesempatan pula yang tak merestui.

Tersenyumlah untukku Rianda! Tersenyumlah, biar aku tenang menatapa aura wajahmu. Apa kau tak lagi merasa ada getar risau dalam dada? Bisa jadi, mungkin benar kau sudah mengubur masa itu. Kisah rindu itu, musim semi itu, atau apa saja yang pernah menjadi terjadi diantara kita. Tidak apalah, tak baik pula aku memaksa. Terserah inginmu saja, aku sudah terbiasa bermain rezah dengan lara. Buktinya aku masih bisa tersenyum setiap kau bilang bahwa Rindu dan rasa itu sakit dan nikmat untuk dirasakan. Namun kenapa kau seperti tak mengenalku?

“siapa itu Rianda?”
Benar-bemar perih dan meruntuhkan perasaan, pertanyaanmu itu, seolah kita tidak pernah dekat dan pernah berkisah tentang sepasang merpati yang bermesra di malam hari dalam sangkar. Walaupun sakit dan pedih tanyamu itu, aku tetap yakin dengan perasaan ini. Rasa yang selali hadir setiap aku teringat dan mengucap namamu. Bahkan tak ada yang sia-sia bagiku. Hanya untuk bersetia menjaga hati untuk seorang perempuan sepertimu. Biarpun kau telah mengubur kisah bahkan namaku. Lantaran ingatan tak pernah mati, kenangan selalu seirama dengan hembus nafas dan menga;ir bersama darah. Hanya saja terkadang semuanya kita paksakan untuk melupakan dan tak acuh.

Aku yakin bila waktu memberimuu kesempatan berpikir dan merenung dalam ingatan tentang kenangan yang kita goreskan menjadi luka sabit itu, kau akan kembali mempertanyakan sebersit cahaya yang pernah kau tak hiraukan. Meski aku tak tahu kapan itu akan terjadi.

Post a Comment

Designed by OddThemes | Distributed by Gooyaabi Templates