-Labirin Cinta
Rianda, sungguh tiada maksud untuk
memikatmu apalagi memilikimu. Hanya waktu dan kesempatan yang tiada
henti-hentinya menyiram perjumpaan kita dengan bunga-bunga asmara, sampai
akhirnya rerindu tumbuh bersemi diantara kebun hati kita masing-masing.
Kaupun tahu bahwa cinta bukanlan
permainan perasaan hati. Namun kenapa kita selalu membuatnya main-main setiap
kali kita bercakap atau ketika bertukar kata dengan SMS puitis. Meski
sebenarnya itu adalah disenganja. Setipa kali kita berada diatara jarak yang meruang,
rindu itu benar-benar ada di hatiku di hatiku. Hanya saja kita terlalu pandai
untuk menymbunyikannuya rapat-rapat dengan kebodohan kita masing-masing.
Rianda, setidaknya kita sadar dan
merasa bahwa sesuatu yang lahir dari rahim waktu tempat kita berjumpa dan tak
jarang bertukar rasa dengan cerita-cerita, adalah benih-benih cinta yang kita
kemas dengan pita-pita warna alasan gombal, biar tak jadi duri yang melukai
diri kita dan mereka diantara kita. Hanya saja, siapa yang mampu membendung
badai rindu yang anginnya membawa hawa pengap candu asmara? Tak ada! Aku tak
sanggup menghadangnya.
Sempat kita bersepakat untuk tidak
lagi bersandiwara dan melupakan semua yang pernah terjadi diantara kita
setealah kita sama-sama bertukar cadar dan topeng yang selama itu kita pasang
di wajah kita masing-masing sampai orang orang percaya dan tak pernah mengusik
ketenangan kita. Namun semua yang kita rencanakan hanya sebatas pertanda bahwa
kita harus benar-benar menikmati luka dan perihnya cinta bahkan rindu yang kian
bergelora.
Rianda, aku kau tak pernah
mengharapkan itu bukan! Tetapi kenapa semuanya harus kita rasakan? Sadarilah
rianda, sungguh aku tak sanggup untuk itu. Tak sanggup rianda! Kau selalu
bilang bahwa kita telah terjebak dalam labirin yang kita bangun sendiri. Namun
apa tak ada cara untuk keluar darinya yang kian menyayat hidup kuita ini?
***
“Kau merasa sakit? Sakit yang sama tengah terasa juga
di benakku. Dalam dan perih.” Rianda_09 Mei 2010
Akaknkah sakit itu masih berjelaga
di benakmu, Rianda? Aku selalu bertanya dalam dada yang hampa dan jiwa yang
nelangsa. Sakit yang dulu kau bilang nikmat dan candu, kini benar-benar tumbuh
mengakar di jantung kalbu menjadi sel-sel pembuluh darah yang sublim ke dasar
otak. Sebagaimana rindu yang kian meluas muara, memantra dataran menjadi lautan
asmara dengan gelombang badai, menggiring serpihan nama dan rindu yang sempat
kau ceritakan padaku sewaktu kita masih terbiasa bertukar senyum dan kedip
manja.
Hampir aku mati rasa setiap rerindu
yang terlantar dalam pada setia adamu di dekatku. Kedekatan tampa bisik isyarat
dan tanda. Tampa aura purnama yang kau semat suatu waktu, katamu ada di mataku.
“bulan sabit itu telah menjela
puranama, mernyelusup hangat dalam benakku, meski kini kita kembali membangun
benteng yang begitu tinggi. Namun kau dan aku telah saling mengetahui dan
menyimpan rapat sketsa rindu di hatiku dan hatimu” Rianda_12 Mei 2010.
Pesanmu masih abadi dalam catatan
dan akan abadi dalam ingatan. Lantaran satu jannji dan kesepakatan pernah kita
indahkan dalam satu rasa dan impian yang sama
Namun rianda, aku telah gagal
menjadi lelaki sejati. Aku sudah terlanjur dan terlampau jauh membodohi bahasa
batinku sendiri. Seharusnya aku membunuh rasa itu sebelum mekar dalam
persembunyian yang muaranya hanya labirin hitam yang menyesatkan aku atau juga
dirimu. Tetapi tidak apa, tiada perlu ada sesal. Sakit ini harus aku nikmati
walau tak juga bersamamu.
***
“jika telah kau temukan llubang
cahaya pada labirin yang kita bangun bersama. Berilah aku isyarat dan tanda
untukku. Biar aku tenang abadi dalam labirin itu sendirian. Aku akan menjaganya
sampai kau menemukan kebahagiaan” kepada Rianda_
Aku tidak sanggup mengartikan diammu
itu, sungguh! Apa aku telah kehilangan indra tafsirku untuk membaca aura dan
tatapmu. Padahal serasa aku talah pandai memaknai isyarat dan tanda. Seperti
ketika kita bermain sandiwara dengan tanda-tanda dan isyarat. Masih jelas
ingatanku ke masa itu. Kau bersenyum pahit dan menatap ragu padaku. Namun semua
adalah bagian dari isi hatimu yang kulukis di mataku sebagai makna kata bahwa
rindu dan cinta terlalu sukar untuk kau ungkapkan.
Semoga kau tak melupakannya. Satu
rasa yang kita semai di lubuk hati kita masing-masing dan rindu yang kita
luapkan dengan beragam perantara yang rahasia. Setelah aku berpikir, seolah
seperti petak umpet sepasang kucing di belakang majikannya. Kita waktu, senang
bertukar cadar dan menyimpan keinginan mendalam yang ujungnya hanya
kegelisahan.
Rianda, hasrat kita ini sudah benar.
Kenapa kita mesti membuangnya? Bukankah kita tidak pernah berharap cinta lahir
diantara kita, berandai-andaipun belum sama sekali. Namun kenapa harus terjadi
dan terjalin?. Ah, sugahlah, aku tidak mungkin mungkir akan kenyataan ini yang
begitu pahit dan pedih, bahkan tetap juga harus aku telan.
Aku selalu besar hati dan yakin
kaupun lebih paham tentang rasa ini. Cinta yang kita pelihara diam-diam.
Karenanya kita harus menanggung beban duka dan luka yang perih. Bukankah hanya
caranya saja yang keliru. Waktu dan kesempatan pula yang tak merestui.
Tersenyumlah untukku Rianda!
Tersenyumlah, biar aku tenang menatapa aura wajahmu. Apa kau tak lagi merasa
ada getar risau dalam dada? Bisa jadi, mungkin benar kau sudah mengubur masa
itu. Kisah rindu itu, musim semi itu, atau apa saja yang pernah menjadi terjadi
diantara kita. Tidak apalah, tak baik pula aku memaksa. Terserah inginmu saja,
aku sudah terbiasa bermain rezah dengan lara. Buktinya aku masih bisa tersenyum
setiap kau bilang bahwa Rindu dan rasa itu sakit dan nikmat untuk dirasakan.
Namun kenapa kau seperti tak mengenalku?
“siapa itu Rianda?”
Benar-bemar perih dan meruntuhkan
perasaan, pertanyaanmu itu, seolah kita tidak pernah dekat dan pernah berkisah
tentang sepasang merpati yang bermesra di malam hari dalam sangkar. Walaupun
sakit dan pedih tanyamu itu, aku tetap yakin dengan perasaan ini. Rasa yang
selali hadir setiap aku teringat dan mengucap namamu. Bahkan tak ada yang
sia-sia bagiku. Hanya untuk bersetia menjaga hati untuk seorang perempuan
sepertimu. Biarpun kau telah mengubur kisah bahkan namaku. Lantaran ingatan tak
pernah mati, kenangan selalu seirama dengan hembus nafas dan menga;ir bersama
darah. Hanya saja terkadang semuanya kita paksakan untuk melupakan dan tak
acuh.
Aku yakin bila waktu memberimuu
kesempatan berpikir dan merenung dalam ingatan tentang kenangan yang kita
goreskan menjadi luka sabit itu, kau akan kembali mempertanyakan sebersit
cahaya yang pernah kau tak hiraukan. Meski aku tak tahu kapan itu akan terjadi.
Post a Comment