Top Menu

Launching Buku Antologi Puisi “Suluk Mataram”, 50 Penyair Membaca Yogya



January 3rd, 2012 | 08:47

Di Malioboro, kami pernah menjadi bayi, pernah bertapa, sekaligus bercinta, pernah menyerupai sampah, pernah belajar mengeja, pernah tak dikenal tetangga, pernah menghitung bintang, mengikuti jejak tikus tua membangun sarang yang nyaman di bawah tanah kelahiran kedua bernama Yogyakarta.

Bait di atas merupakan bait terakhir sebuah puisi berjudul Orang-Orang Malioboro 1969 karya Iman Budhi Santosa. Puisi yang dibuat pada tahun 2009 ini bercerita tentang geliat para penyair muda di Malioboro pada tahun 1969.
Pementasan musikalisasi puisi dalam launching antologi puisi "Suluk Mataram": 50 Penyair Membaca Yogya, Sabtu (31/12) di Gedung Wanitatama Yogyakarta.
Bersama Umbu Landu Paranggi serta penyair muda lain, Iman bergabung dalam komunitas Persada Studi Klub (PSK). Sebuah komunitas sekaligus ruang berkreasi yang berbasis di sepanjang Jalan Malioboro. Tak salah, jika kemudian atmosfer Malioboro, sepanjang Senisono hingga Hotel Garuda begitu lekat dalam ingatannya.
Ada pula catatan tentang Pasar Kembang, sebuah kawasan lokalisasi di Jogja yang ditorehkan Otto Sukatno CR. Penyair asal Karanganyar ini menulis Catatan Pasar Kembang pada tahun 1999.
Di tahun 2010, ia kembali membuat Catatan Pasar Kembang II. Kedua puisi ini bercerita tentang pergulatan hidup seorang pekerja seks komersial, yang juga seorang ibu. Otto menggunakan kacamata seorang anak yang rindu sekaligus gelisah melihat pergulatan hidup ibunya.
Dan masih ada torehan catatan lainnya tentang Jogja dalam buku Antologi Puisi Suluk Mataram, 50 Penyair Membaca Jogja. Menurut Sigit Sugito, butuh waktu yang panjang mempersiapkan antologi puisi tersebut. Bermula saat para penggiat sastra di Yogyakarta menggelar acara 100 Penyair Membaca Yogya.
Acara tersebut merupakan momentum kebudayaan di tengah silang sengkarut isu soal keistimewaan DIY. Mereka menorehkan kata tentang substansi keistimewaan Yogyakarta lewat puisi. Sampai akhirnya proses terus mengalir dan Malam Sastra Malioboro menjadi ruang ekspresi yang rutin digelar.
Dari situ kita bertanya apakah cukup berhenti pada satu event saja? Teman-teman penyair lalu sepakat membuat Paguyuban Sastrawan Mataram dengan agenda rutin Malam Sastra Malioboro di titik nol. Mengapa di kilometer nol atau kawasan seputaran Malioboro? Karena bagi teman-teman penyair, keistimewaan itu lahir dari gesekan sepanjang Jalan Malioboro.
Umbu Landu Paranggi, Presiden Malioboro misalnya, berproses kreatif di Jalan Malioboro. Orang juga mengenal Jogja, tidak lepas dari Malioboro. Malioboro adalah situasi alam kreatifitas yang dibangun oleh banyak seniman. Tidak hanya penyair tetapi juga ada pemusik, dan ada perupa, ujar Sigit.
Proses yang hampir setahun dijalani kemudian memunculkan keinginan untuk mendokumentasikan puisi-puisi yang pernah dibawakan. Terpilihlah 50 penyair dari seluruh penjuru Nusantara.
Selain Yogya, ada pula yang berasal dari Semarang, Bekasi, Jakarta, Palangkaraya, dan Madura. Beberapa di antara mereka pun tergolong penyair produktif serta telah memiliki nama besar seperti Mustofa W Hasyim, Iman Budhi Santosa, Dharmadi, Kurniawan Junaedhi, Boedhi Ismanto, dan lain sebagainya.
Buku Antologi Puisi Suluk Mataram, 50 Penyair Membaca Jogja akhirnya di-launching tepat di penghujung tahun bertempat di halaman Gedung Mandala Bakti Wanitatama, Sabtu (31/12).
Dalam launching ini hadir para penyair membawakan puisinya seperti Daru Maheldaswara, Dhenok Kristianti, Syam Chandra Mantiek, dan lainnya. Tampil memukau malam itu, Maria Widy Aryani saat membaca sekaligus menembangkan Pledoi Pembayun karya Sigit Sugito. (Jogjanews.com/Ina Florencys)

Post a Comment

Designed by OddThemes | Distributed by Gooyaabi Templates