Top Menu

ORASI SASTRA REMY SYLADO





KAWINDRA WAFAT, HIDUP KAWINDRA
Sebuah  Orasi Sastra Oleh Remy Silado


Puan-puan dan Tuan-tuan
Dalam bahasa Kawi, Kawindra adalah ‘penyair besar.’ Demikian L. Mardiwarsito dalam Kamus Jawa Kuna Indonesia. Atau, lebih jauh kawindra adalah ‘raja pujangga.’ Demikian P.J. Zoetmulder dalam Kamus Bahasa Jawa Kuna Indonesia.

Dengan rasa hormat yang sepatutnya, mohon izin saya ingin menyebut W.S. Rendra sebagai Kawindra. Alasannya akan saya sampaikan secara umum dibawah nanti. Sebelum itu, perbolehkan saya mengingat-ingat kejadian dulu dengan perasaan masygul, pada hari terakhir hidupnya, ketika ia diberitakan telah berpulang ke ramhatullah.
Berita wafatnya Rendra, berdekatan dengan berita wafatnya Mbah Surip. Serta merta saya prihatin, sebab dengannya muncul juga berita gunjing tentang Cikeas, bahwa konon presiden RI ke-6 dan ke-7 Susilo Bambang Yudhoyono, merasa lebih terpanggil memberi pernyataan belasungkawa kepada Mbah Surip ketimbang kepada Rendra.
Itu aneh, memang, sebab kita yang biasa datang ke Pasar Seni Ancol, sama-sama tahu, bahwa Mbah Surip selama itu hidup sebagai bambung di sana, tapi tiba-tiba beken dan punya cukup uang karena rekaman lagu “Tak Gendong Kemana-mana”, yang, mohon izin pula, bahwa saya ingin mengatakan itu lagu sampah, sebab lagu itu sepenuhnya merupakan bajakan dari melodi instrumentalia Billy Vaughn pada 1960-an berjudul “Runchy” yang pada masamnya di Bandung diplesetkan oleh Harry Rusli dengan kata-kata saru, Jorang, porno khas Saritem.
Maka, menghormati secara aneh terhadap seorang Bambung lebih terhdap Kawindra, bagi saya sungguh keterlaluan. Ini bukan berarti saya menutup mata pada kegigihan Mbah Surip yang mati-matian untuk memperoleh nafkah yang layak sampai benar-benar ia mati sungguhan; mati kumlah, mati konyol, mati kutu, mati lelas, mati mawai, dan seterusnya.
Tapi, di luar itu, memang terlihat sikap menghargai pelaku seni pop yang berlebihan oleh ketua-ketua partai dalam tatanan politik kita sejak zaman Orde Baru, maka di situ terlihat, pada khususnya masa kampanye, dari pilpres, pilgub, sampai pil pahit (karna kalah), betapa pelaku-pelaku seni pop itupun tidak dihiraukan lagi. Yaitu anakmas berubah menjadi anak tiri. Artinya pelaku-pelaku seni pop itu dihargai manfaatnya sebagai barang, bukan martabatnya sebagai seorang.
Puan-puan dan Tuan-tuan
Jadi ketika Presiden RI diberitakan: tidak cukup kesungguhan menunjukan rasa simpati kondelensia, dan terpanggil untuk menyatakan belasungkawa pada seorang kawindra yang nyata-nyata telah berjasa mengangkat harkat bangsa lewat karya sastranya, yang notabene dipujikan meluas di antero mancanegara, tapi sebaliknya malah lebih condong mengapresiasi secara verbal seorang pelaku seni pop yang nyata-nyata pula plagiat, maka kenyataan tersebut membuat saya mohonmaaf, terpaksa harus menganggap Presiden RI telah dengan tidak sadar merendahkan martabatnya sendiri sebagai seorang intelektual yang tidak bijak-bestari di batas yang nian absurd.
Pernyataan yang naif timbul disitu adalah: apa Kepala Negara memang hanya gandrung mengapresiasi seni pop, berhubung SBY juga pencipta lagu-lagu pop dengan sekurangnya dua judul disangsikan sebagai bentuk reminiscenza untuk tidak mengatakan plagiarisme? Lantas, apakah dengan begitu Kepala Negara bersikap abai terhadap seni murni dalam sastra yang galib merangsang dan menuntun orang untuk mampu berpikir serius dan kritis nasional?
Tapi apakah ya, opo tumon Pak Presiden tidak mengenal kawindra Rendra?
Jika benar begitu, dakwaannya adalah, bagaimana mungkin diterima akal sehat bahwa seorang Kepala Negara yang menempatkan diri sebagai perajin puisi, artinya yang rajin menulis-menulis puisi, tidak mengenal kawindra bangsa ini yang telah berjasa pula menyemangati pikiran-pikiran baru kesenian modern Indonesia antara sastra dan teater? Padahal, sementara itu anak-anak sekolah desapun di antero negeri, dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, pasti mengenal Rendra.












Remy Sylado foto oleh @febryaming

Puan-puan dan Tuan-tuan.
Barangkali anda semua belum tahu bahwa sebagai perajin puisi, Pak Presiden sudah menerbitkan dua buku kumpulan puisi. Yang pertama, atas permintaan Istana, pengantarnya dibuat oleh K. H Mustofa Bisri. Dan yang kedua, atas permintaan Istana pula, pengantarnya dibuat oleh Putu Wijaya. Lantas, supaya sempurna “asas pemerataan kebingungan”, maka satu puisi dari buku yang pertama dan satu puisi dari buku kedua, dibacakan oleh Encik Profesor Sapardi Joko Damono dan Encik Profesor Jakob Sumardjo di depan penonton di Gedung Kesenian Jakarta.
Artinya dengan melihat gambaran aktual di atas, maka sebagai perajin puisi yang bisa memberdayakan bakat para nama mahsyur dipeta susastra Indonesia itu, tentunya SBY tidak boleh dibilang tidak mengenal Rendra. Walaupun, ya, menyedihkan kenyataannya sikap anakmasnya terhadap pelaku-pelaku seni pop antata instrumentalis maupun vokalis, memang menyolok (bukan mencolok) sekali. Tentu saja kenyataan itu disebabkan oleh alasan: rajinnya pula Pak Presiden mencipta lagu-lagu pop; yaitu model musik hiburan khas Amerika yang oleh Presiden RI yang pertama dulu disebut sebagai ‘musik ngak-ngik-ngok.’
Tapi, sekarang kalau dikatakan, bahwa SBY kenal Rendra dan memang seharusnya begitu, namun entah, apakah ia membaca karya-karya sastra Rendra meliputi puisi, prosa, dan drama, serta esai. Lantas mengapa pula masih diprasangkai seakan-akan ada masalah serius dengan Rendra, sehingga ia tidak beritakan menyatakan belasungkawa yang semadyanya secara negara terhadap wafatnya sang Kawindra, seperti belasungkawa yang justru diberitakan atas meninggalnya sang bambung.
 Kalau begitu apakah masalahnya politis?
Walahualam, entah, hanya tuhan dan barangkali iblis yang tahu duduk masalahnya.
Terus terang saya tidak mau berprasangka buruk. Tidak mau mengatakan bahwa barangkali Pak Presiden galau melihat Rendra membaca puisi dalam kampanye Pilpres Megawati – Prabowo yang dilaksanakan di tempat pembuangan sampah. Di sana, seperti selalu, Rendra menempatkan diri sebagai oposan terhadap pemerintahan yang melaksanakan roda pemerintahannya dengan kekuasaan yang timpang karena korup. Untuk tema macam itu tampaknya Rendra cempiangnya. Ia memiliki karunia indra yang tajam dengan kemempuan ekspresi verbal yang sangat jawa, yaitu suatu kemampuan estetis literal yang dibya yang leluri dari ungkapan-ungkapan derivatif sanepan seperti yang kita kenal pada Ronggowarsito dalam bentuk macapatnya. Dengan demikian hal itu tidak bersua dalam premis puisi kritik yang lain dibingkai bahasa Indonesia, baik dalam puisi Taufiq Ismail pada 1966 maupun puisi Widji Thukul pada 1966.
Untuk melihat substansi itu secara kongkret, baik kita pirsa karyanya “Blues Untuk Bonner.” Dengan ini Rendra mengaku bahwa ia mengalami ketegangan kreatif yang menyentuh rasa moralnya dalam menuliskannya. Kendati ketegangan itu sendiri merupakan padahan sosial-politik yang secara hakiki telah memotivasi akalbudi untuk mengejawantahkannya menjadi wujud, tampaknya ia lebih merasa karya ini sepenuhnya lahir dari situasi internal sukma yang membuatnya merasa antara seperti ‘kesurupan’ dan seperti ‘tertawan.’ Dari kumpulan “Blues Untuk Bonnie” ini kita bisa baca sepotong dari Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta:
Politisi dan pegawai tinggi
Adalah caluk yang rapi
Kongres-kongres dan konperensi
Tak pernah berjalan tanpa kalian
Kalian tidak pernah bisa bilang “tidak”
Lantaran kelaparan yang menakutkan
Dan telah lama sia-sia cari kerja
Ijasah sekolah tanpa guna
Para kepala jawatan
Akan membuka kesempatan
Kalau kau membuka paha
Puan-puan dan Tuan-tuan
Dalam pengakuan Rendra sendiri—demikian kita baca makalahnya pada temu sastra 1982 di Jakarta yang kemudian dimuat di Kompas 17 Desember 1982—bahwa baru setelah tahun 1971 ia benar-benar melihat ketimpangan keadilan sosial, politik, dan ekonomi secara struktural dalam tatanan pemerintahan militeristis Soeharto, dan olehnya ia tergairahkan untuk mencipta tema-tema itu dalam puisi dan dramaturginya.
Ia membuat kliping sebanyaknya tentang permasalah ketidakadilan pemerintahan Orde Baru itu untuk dijadikannya bahan ilham atas seni-seni kritisnya dalam sastra dan teater. Maka, jamaklah dibilang bahwa jika hendak melihat carut-marut Indonesia zaman Orde Baru, antara lain bacalah puisi Rendra dan nonton teaternya. Kalau boleh, saya ingin bilang, itu kira-kira  muradif dengan melihat realitas centang-perenang Amerika pada lirik-lirik lagu Bob Dylan.
Sudah tentu greget dan sikap oposan Rendra itu mengundang musibah bagi dirinya. Jajaran depotisme Soeharto mencekalnya, mengebirinya, memaksanya bungkam, pendeknya memperkosa hak asasinya. Itu berlangsung cukup lama. Dan itu menyusahkan pendapatan anggota-anggota Bengkel Teaternya yang selama itu bersandar penuh pada kegiatan pertunjukan Rendra.
Beberapa anggota Bengkel Teater datang pada saya, mengeluh karena pencekalan Rendra, dan ingin berteater dengan saya lewat bentuk apapun. Maka, saya menyampaikan ini kepada Handoko Kusumo, anak Cina Malang yang nyentrik dan menyenangkan, yang selama itu menjadi produser rekaman untuk beberapa volume musik-musik saya. Segera timbul gagasannya untuk membuat rekaman drama dalam kaset, cerita “Orexas” yang pada 1970-an dilarang penguasa Bandung, baik pihak polisi maupun tentara. Hampir semua anggota Bengkel Teater ikut bermain dalam rekaman drama ini, mulai dari Kelono Gambuh yang kemudian mendirikan Jengkel Teater tapi mandul karena kurang cendikia, kemudian Iwan Buharni, Sawung Jabo, Lily Suardi, sampai istri Rendra sendiri Ken Zuraida.
Tidak cuma itu. Produser musik yang nyentrik ini, yang dikenal juga sebagai penemu Iwan Fals dan Doel Soembang, bahkan membuat rekaman dalam kaset pembacaan puisi Rendra dan saya dengan judul “2 R Baca Puisi.” Maunya tak lain adalah memberi kegiatan kesenian dengan hoborarium tertentu buat Rendra yang pada saat itu memang sangat terpukul.
Tentu saja langkah-langkah diatas tidak sertamerta menyembuhkan kerinduan anak-anak Bengkel Teater untuk kembali bisa berjaya bersama sang Kawindra di atas panggung. Di samping dua langkah di atas, saya juga sempat membawa anak-anak Bengkel Teater itu bermain drama di Tasikmalaya, menggarap naskah farce yang saya adaptasi dari dramaturgi Elwy Mitchell “A Husband For Breakfast.” Dan kegiatan itupun saya anggap sekedar obat rindu bercinta dengan teater tanpa mencapai orgasme. Saya bilang kepada mereka, mungkin waktu bagi Rendra belum lagi kembali.
Pada suatu hari setelah setelah pertunjukan di Tasikmalaya, saya heran, diundang oleh pihak Sekneg untuk rapat di kantornya di bilangan Harmoni sana, membahas rencana suatu pertunjukan besar yang akan dipertalikan dengan perayaan Golkar di Istora. Di Dalam ruang belakang kantor Sekneg itu ada Sudharmono, Ada Sukarton, dan ada juga Kris Biantoro.
Yang dibahas di situ adalah, bagaimana mengalihkan perhatian masyarakat supaya tidak datang menonton pertunjukan Guruh Sukarnoputra. Waktu itu pertunjukan Guruh memang menjadi contoh bisnis panggung yang luar biasa. Bapak-bapak di kantor Sekneg itu memandang dengan prasangka bahwa semaraknya pertunjukan Guruh itu sebagai bahaya kembalinya kegandrungan pada Bung Karno. Mereka takut bahwa Guruh mendapatkan dukungan finansial dari orang-orang sukses yang dulu berpendidikan “Pejah gesang nderek Bung.” Tapi apologia yang dibuat santer dalam rapat itu, adalah bahwa nilai pertunjukan Guruh tidak menggambarkan keperkasaan untuk mencinta tanah air, tapi malah kegemulaian untuk mencintai sesama jenis.
Saya ingat Jendral Sukarton bertanya kepada saya, bagaimana membuat pertunjukan besar teater dengan tema kebangsaan yang bisa mengalihkan perhatian orang untuk tidak menonton pertunjukan Guruh. Wah, ini pertanyaan jendral yang bekualitas kopral. Catatan mereka di situ, yang kemudian saya ketahui berasal dari Kris Biantoro, bahwa saya sudah membuat pertunjukan di Balai Sidang “Jesus Christ Supertar” dalam dua tahun berturut-turut, 1980 dan 1981. Maka jawab saya kepada sang Jendral, “izinkan rendra bekerja sama dengan saya, sebab hanya Rendra yang memiliki karisma itu.” Langsung, semua bapak-bapak yang ada di situ cemberut. Muka mereka kayak kerendem cuka.
Puan-puan dan Tuan-tuan
Pertama kali saya mengenal nama Rendra, dan puisinya, ketika saya masih duduk di SMP. Ia berdeklamasi pada suatu acara di halaman katerdral Randusari, Semaranf, yang tanahnya menyatu dengan sekolah saya Domenico Savio. Kala itu ia masih Kristen. Yang disebut Kristen adalah semua yang percaya pada kredo Bapa-Putra-Roh Kudus, dan Almaseh Isa ibni Maryam sebagai jalan, kebenaran, dan hidup. Jadi, tidaklah benar anggapan umum yang mengira bahwa hanya Protestan yang sah dibilang Kristen. Yang benar, Kristen adalah juga Katolik. Kelak Rendra akan meninggalkan kekristenannya itu karena memilih Islam sebagai Akidah yang benar di jalan Allah. Itu di luar catatan saya bahwa ia bisa beristri lebih dari satu yang dilarang dalam Kristen tapi tidak dilarang dalam Islam. Sementara it6u, bagi Kristen, Rendra masih bisa dibilang Kristen. Yaitu Kristen Murtad.
Sebelum Murtad pada kekristenannya, puisi-puisi Rendra di masa awal kreatifnya, 1950-an, memang sangat diwarnai oleh tradisi gereja Katolik. Kita melihat itu pada puisi pilihan H.B. Jassin dalam “Angkatan 66”—yang notabene disikat oleh Ayip Rosidi sebagai pengukuran yang rancu—masing-masing “Lintani Domba Kudus” dan “Ballada Penyaliban.” Perikop dalam empat injil tentang penyaliban tersebut telah lebih dulu kita baca dengan metafora yang beda dalam puisi Chairil Anwar pada 1940-an, dan kemudian dengan metafora yang tak sama pula dalam puisi Subagia Sastrowardojo pada 1950-an.
Bagi Kristen, sejarah salib merupakan dasar peradaban. Tapi, bagi Islam, pengetahuan tentang sejarah salib itu ditilak tegas berdasarkan pegangan Al-Quran, kitab suci yang memenuhi syarat dalil akli dan dalil Nakli, yaitu pada bacaan surag An-Nisaa’ 157.
Di masa awal kreatifnya, Rendra tidak peduli itu. Barangkali juga setelah ia menjadi mualaf. Bersama dengan itu, bahkan saya sendiri menganggap Chairil dan Subagyo pun tidak perlu menjadi Kristen ketika mereka menulis tentang peristiwa penyaliban tersebut. Mungkin saja salib di situ hanya sekedar ornamen yang lazim menjadi ilham karya-karya kebudayaan, seperti marak di dunia barat sejak Byzantium sampai Renaissance, meliputi lukis, musik, sastra, drama. Ini lepas dari fakta bahwa di dalamnya toh ada tokoh besar sastra-drama barat yang menjadi teladan kekristenan di bawah keyakinan tentang Salib sebagai representasi kasih ilahi, justru di zaman ketika humanisme renggang dengan gereja. Tokoh yang dimaksud tak lain adalah T.S Eliot, pemenang nobel 1948. Ia berbeda dengan Jean-Paul Sartre, pemenang Nobel 1965, yang justru menulis sastra-dramanya sebagai tesis eksistensialisme ke arah konsekuensi akhir menuju ateisme, dan dengan demikian secara asasi berarti melecehkan salib.
Sekarang, coba kita baca bagian awal puisi Rendra “Ballada Penyaliban” tersebut.
Yesus berjalan ke Golgota
Disandanya salib kayu
Bagai domba kapas putih
Tiada mawar-mawar di jalan
Tiada daun-daun palma
Domba putih menyeret azab dan dera
Merunduk oleh tugas teramat dicinta
Dan ditanam diatas maunya
Mentari meleleh
Segala menetas dari luka
Dan leluhur kita Ibrahim
Berlutut, dua tangan pada Bapa
Bapa kami di sorga
Telah terbantai domba paling putih
atas altar paling agung
Bapa kami di sorga
Berilah kami bianglala
Puan-puan dan Tuan-tuan
Terakhir kali saya bertemu Rendra ketika kami bertujuah – Noorca Masardi, Eddy D. Iskandar, Embi C. Noer, Chairul Umam, dan Rima Melati sebagai ketua—menjadi juri FFI yang heboh itu, di mana para pemenang ramai-ramai mengembalikan piala-pialanya. Konon mereka yang marah-marah itu terhasut oleh seseorang yang memperkeruh peristiwa itu tersebut dengan isu SARA dalam rangka mengincar kedudukan dalam dewan film untuk kendaraan politiknya. (Mudah-mudahan saja keributan seperti ini tidak terjadi lagi dalam FFI tahun ini di mana kembali saya menjadi juri bersama antara lain Slamet Rahardjo sebagai Ketua, Tommy F. Awuy sebagai Sekretaris, dan anggota-anggota Arswendo Atmowiloto, Didi Petet, dll).
Ketika bersama-sama Rendra menjadi Juri FFI waktu itu, saya lihat ia begitu tekun menonton semua film, mengapresiasi fulm sebagai sunguh-sungguh elemen teater yang paling purna. Maklum, sebagai kawindra, ia juga bintang film. Ia ke film karena berhasil dirayu Motinggo Busye, sastrawan dan pelukis, yang membuat film dengan memakai judul dari salah satu larik puisi Chairil Anwar, yaitu “Cintaku Jauh di Pulau.”
Ketekunan Rendra mengapresiasi karya film dalam festival itu menjadi buyar, dan duduknya usreg, ketika harus menilai karya Garin Nugroho, “Opera Jawa.” Satu-dua kali terdengar ia beringsut, “Karepe opo to iki?” Dan, setelah sampai pada saat juri akan melakukan rapat untuk menilai, dia berkata kepada saya, “ Lo, karepe kuwi meh gawe film opo instalasi. Elek! Kuwi nyolong soko teaterku.”
Tapi bagaimana nilai ilustrasi musik “Opera Jawa” itu
Saya memberi nilai tinggi. Rendra tidak. Karuan menjadi debat. Saya ngotot bahwa ilustrasi musik yang dibuat oleh Rahayu Supanggah itu harus dibilang istimewa, sebab di situ terkupingkan dengan jelas kepadaian menggali laras gending sebagai roh keindahan alami timur di sanding kredensi gerejawi yang artinya Barat, menjadi vernalkular tipikal yang mathluk karena gathuk.
Apa boleh buat, rendra mesti mengamini alasan saya itu. Dan, itu tercapai setelah saya harus memberi “kuliah” padanya soal ciri-ciri teoritis pelog dan slendro pada masing-masing frekuensi dalam perbandingannya dengan skala diatonik dan kromatik. Ia terkesima karena saya bilang titilaras slendro itu aslinya Cina, ditemukan oleh Ling Lun pada zaman dinasti Xia, 2100 tahun sebelum tarikh Masehi, dan lazimnya disebut huang-mei-tiau, lantas dibawa ke jawa lewat Borobudur oleh guru besar agama Budha bernama Hwi Ming, dan dibakukan sesuai nama sang raja Syailendra.
Begitulah Puan-puan dan Tuan-tuan, setelah itu rendra meminta saya membuat diskusi khusus musik Bengkel Teater. Dan seentengnya ia berkata, “honormu tak sediakke 10 juta. Cukup ora? Nek kurang, gampang mengko aku jaluk soko Akademi Jakarta.”
Tapi gagasan itu tak pernah terwujud, sampai akhirnya di saat saya berada jauh dari Jakarta, saya membaca berita tentang berpulangnya sang Kawindra. Innalillahi wainnalilaihi rajiun. Sang Kawindra wafat, tapi hidup sang Kawindra.
Puan-puan dan Tuan-tuan
Arti penting Rendra akhirnya harus dilihat dalam sejarah teater modern Indonesia. Penting, karena kehadirannya setelah lama menimba ilmu dan pengalaman seni di Amerika, dikembangkan di Indonesia, dan membuat Indonesia yang selama itu tidur, tiba-tiba bangun oleh kiprahnya. Yang tua-tua, dan ingin mati dengan tenang, banyak yang marah pada wawasan kontemporer rendra: menghancurkan seni yang mapan dan kataklismik— a violent and sudden change — dalam sikap yang disebutnya urakan.
Ia pun membuat gerakan urakan tersebut dalam sebuah pertemuan di Prangtritis. Ia mengundang saya juga untuk hadir di situ. Tapi saya tidak bisa datang. Saya menjawab dengan membuat pementasan teater di Bandung, berjudul “Genesis II” yang notabene diinterogasi polisi selama 10 hari, dan di dalam katalog pementasan ini saya mengatakan: tidak sreg dengan pembertontakan terhadap kemapanan melalui sikap urakan. Saya memilih kata mbeling. Sebab, kata saya, entri urakan dalam bahasa jawa itu jelek. Sebaliknya mbeling dalam bahasa Jawa berarti nakal tapi sembada. Sejak kecil, di kelas V saya sudah dibilang mbeling oleh guru saya. Entri ini diucapkan oleh guru agama Islam di SR Karangasem, Semarang, untuk memuji karena saya satu-satunya Kristen dalam kelas yang paling bagus menulis kalimat Quran surah 1 ayat 1. Jadi, kata mbeling itu saya pakai memperkenalkan teater kontemporer saya, di dikritik ramai-ramai oleh seniman-seniman tua Bandung mulai dari Rustandi Kartakuysumah sampai Wing Kardjo.  Hanya satu orang tua saja yang menganggap itu positif, bahkan memuji, yaitu M.A.W Bouwer dalam resensinya berjudul “Coming of the age of Bandung” di Kompas Mei 1972. Setelah itu saya pakai juga kata mbleing untuk rubrik puisi yang saya buat di majalah saya Aktuil, dan segera diikuti oleh sejumlah anak muda. Salah seorang di antara anak muda itu yang kini hadir di bianglala prosa paling hebat adalah: Seno Gumira Ajidarma.
Puan-puan dan Tuan-tuan
Jujur saya harus akui, sensasi Rendra dalam teater urakan itu memang luar biasa bisa menggelisahkan saya untuk mencari dan menemukan teater kontemporer saya. Kebetulan saya mendapatkan anggota-anggota teater yang siap disuruh latihan pagi, siang, ataupun malam tanpa pusing-pusing menghitung anggaran transportasi dan konsumsi sebagaimana sekarang hal itu menjadi masalah berat di Jakarta. Anggota-anggota teater saya waktu itu adalah semuanya mahasiswa Akademi Cinematografi di mana saya mengajar dramaturgi, musik, dan make-up (yang bukan banci).
Dan, saya rasa tempaan terhadap teater saya dalam menumukan nilai kontemporer lewat Mbeling, bukan urakan, termasuk peran Sutardji Calzoum Bachri yang saban hari datang ke tempat latihan saya di jl. Naripan, tak jauh dari kantor korannya, untuk mengejek-ejek saya. terlebih lagi, ia biasa menertawai Abdul Hadi WM yang ikut main drama di teater saya, dan dibilangnya vokal Abdul Hadi itu bagai itik disembelih. Maklum, vokal Sutardji termasuk bagus, bisa nyanyi lagu jazz standar New Orleans dengan meniru suara Louis Armstrong. Sementara, ejekan pada sata, “Terberak-berak kau mengejar Rendra di depan.”
Memang di sana istimewanya Rendra. Selain Kawindra, di dalam teater Rendra adalah Agramanggala. Dalam bahasa Kawi, agramandala adalah ‘pemimpin paling unggul.’ Demikian Zoetmulder dan Mardiwarsito dalam kamusnya masing-masing.
Akhir kalam, Puan-puan dan Tuan-tuan, mohon izin saya bernudub, agar nudub ini dibawa angin sampai Cikeas dan didengar Bapak Presiden, untuk mau berdoa bersama saya: Semoga arwah mas Willy yang kawindra dan agramandala diterima di sisi Allah, Amin ya rabulalamin
Jakarta, November 2013

*diketik ulang oleh Mpu Blog ini:  http://31oktober.wordpress.com/2013/11/26/orasibudaya1/
tanpa mengurangi satu hurufpun.
Kemudian di copas oleh pemilik blog Aquarium Penyair. Sebab tidak memiliki banyak waktu, untuk mengetik ulang pula. foto juga diambil dari blog terkait...

Post a Comment

Designed by OddThemes | Distributed by Gooyaabi Templates