PERCINTAAN HULU DAN MUARA
jangan pernah kau ragukan. ini bukan sajak terakhirku,
kekasih
sebagaimana hulu. ia selalu menyimpan rindu pada muara
sebuah pertemuan yang tak pernah. hanya tumpukan dari
gelisah
lalu desir air. potongan-potongan ranting yang
tersangkut
“sampaikan salam pada muara. aku hulu yang berkabung
rindu!”
demikianlah senantiasa ia nyanyikan di senja-senja
lembab
juga taring waktu yang runcing
kisah apa yang tak kuceritakan kepadamu. meski parasmu
samar
dan aku hanya melukismu di tebing-tebing batu
kubayangkan seekor belibis putih membasuh paruhnya di
tepi sungai
ikan-ikan menggoda. hari begitu saja menjadi penjadi
petang
“bukan. aku hanya akar tua yang lapuk direndam musim!”
sesungguhnya suara yang tak ingin kudengar. kau akan
berlari
di antara ilalang dan batang-batang
sajak ini akan terus kukirim untukmu, kekasih
meski ceritanya selalu saja tentang perih
Payakumbuh
PENUMPANG
bukan tentang lengang. tapi perihal yang membuat mimpi
terbelah
sebagaimana burung-burung seolah terusir karena pohon
tinggal
canggah-canggah patah. maka berangkatlah!
jika tanah tinggal telah menggali kubur untukmu. dan
kebun-kebun
kau tanam tak pernah berbuah. titipkan saja perpisahan
pada tepian
bukankah pergi adalah gelang yang melekat di tangan
lelaki
lalu berbondong-bondong lelaki pun pergi. memesan
keberangkatan
menciptakan rantau atau tujuan. simpang-simpang, kedai
kopi, stasiun,
juga terminal tengah malam. berangkatlah! sebagai
penumpang
lupakan ayunan kanak-kanak yang masih tersimpan.
lupakan musim kering
dan lapar yang liar. lupakan juga sengketa
tapal-tapal. lupakan!
semakin jauh langkah terayun pergi semakin berarti
seorang lelaki
bukan tentang lengang. tapi rantau telah dibangun
dalam diri
dan mereka yang berangkat, adakah yang memesan tiket
untuk kembali
Payakumbuh, Januari, 2011
PENARI PIRING
aku telah datang sebelum jemari di sembahkan. mulai
talempong
serta tambur yang diguguh di hampar kaca-kaca ruruh
kusambut senyum jambu muda sewarna baju kurung itu.
menarilah!
sebelum malam jadi. dan puput batang padi yang kita
sebut serunai
bertingkah berubah lengang. menarilah!
di panggung waktu yang terburu. cawan gelisah yang
tersimpan di rumah
hentakan segala sampai derai.o, menarilah!
malam lalu
waktu begitu laju
cicin gemeretak di antara kaki yang menghentak
lingkaran usia. langit luas kehidupan
dari panggung ke panggung kampung halaman diusung
elok-elok manjek kemauniang, jang sampai dahannyo
patah
elok-elok menari piriang, jang sampai piriangnyo pacah
dan di puncak ketika kaca-kaca berhamburan. saat dua
piring pecah
ada luka yang tak bisa ia ceritakan
Payakumbuh, Juni 2011
(Koran Tempo, 1 April 2012)
(Koran Tempo, 1 April 2012)
Post a Comment