Orkestra Lereng Bukit
Sebelum mimpi menua berjuta harap
Mari sejenak merenung saling terka
Sekedar melepas pandang bersitatap
Demi hidup di tanah sejarah para raja
Lantas berbaringlah sambil mendongakkan wajah
Bayangkan langit mencipta hujan tanpa gemawan
Air mata pastilah mengalir lebur bercampur darah
Saat terbersit gema sirine dan satu gemuruh ledakanTidur siapa yang tebenam meski selelap mata
Jika halaman rumahnya sepi dari cakap yang ramah
Bila sanak saudara di lereng bukit merapi sana
Tak sempat merampung malam sekedar istirah
Mereka hanya mampu memilin air mata
Menata duka-luka yang berkarat nanahSiang dan malam, matahari dan rembulan
Tak ubahnya sebuah putaran hukuman mati
Hanya tinggal menanti giliran atau panggilan
Malaikat maut yang siap memenggal nadiSudahkah kita menyapa hati?
Saat letusan itu mengalirkan lahar panas membara
dan menghujani rumah-rumah, kebun, dan sawah-rawa
bagai orchestra; tangisan dan jerit anak-anak tak berdosa
memecah air mata bapak ibunya, mengalir bersama lahar
Menyulap sungai-sungai hening nan bening
menjadi lumpur darita.
Sudahkah kita berbagi, meski dengan sebening air mata?
Yogyakarta, November 2010
Bulan Pecah Di Pundakmu
Aku terpaku memangku dagu antara laut selatan dan puncak merapi;
dalam ratusan tahun sejarahmu terkalung di tugu batu yang bisu
kata-kata hablur tanpa sudut yang mestinya kurampungkan sebelum
kujilat debu debu pasir membara sampai tenggorokan gersang
pada mimpi-mimpi tentang mimpimu yang gugur tanpa jejakgetar jemari bergelegar mencakar-cakar menggali hal ihwal
atau amsal sebatang pohon saat bulan redup di benggala
jatuh di mataku merogoh sukma, mengeja huruf magis purnama
silau; aku hanya mengias-ngais dalam pukau mencari perangai
Mungkinkah aku harus menjerit dalam keterasingan ini
Memecah karang batu diantara tebing-tebing terjal lautanmu
Biar derit jendela tua rumahmu tak lagi sekarat memanggil bulan
Pada puncak gunungmu yang murka dengan tata rias mahkotamu
Yogjakarta, 2007-2010
Post a Comment