Top Menu

Esai Faisal Kamandobat



Dalam fiksinya yang berjudul Everything and Nothing (Edited and Translated by Andrew Hurley, Penguin Books, 1998; p. 319) Jorge Luis Borges menggambarkan kegelisahan “iman” William Shakespeare dalam kedudukannya sebagai dramawan. Berikut sinopsis fiksi Borges untuk selanjutnya secara spesifik dihubungkan dengan sastra dan teologi:
Menjadi dramawan, baik penulis naskah maupun aktor, berarti mencipta dan menjadi orang lain, sekali pun rekaan. Shakespeare mencipta manusia rekaan seperti Romeo dan Juliet, Hamlet, King Lear, juga Machbet. Dan Shakespeare berusaha menjadi mereka, kendati cuma di atas panggung.
Sayangnya, panggung drama dimulai dari kehidupan nyata. Untuk memerankan tokoh tertentu, seorang aktor melakukan pendalaman watak, gagasan dan tingkah laku dari tokoh yang hendak diperankannya, dalam kehidupan sehari-hari. Menjadi Hamlet misalnya, berarti menghayati secara intens karakter pangeran yang peragu itu.
Dalam dramaturgi Stanislavskian, intensitas itu sampai pada tahap Shakespeare tak mampu membedakan mana Hamlet dan mana dirinya. Shakespeare telah “sunguh-sungguh” menjadi Hamlet. Tak hanya Hamlet, Shakespeare juga menjadi pandir dalam King Lear, pemain cinta yang tragis dalam Romeo and Juliet, dst. Shakespeare “berlipat-ganda” menjadi sekian manusia.
Mengubah kepribadian menjadi begitu banyak manusia, Sheakespare mengalami dilema baik secara psikologis maupun filosofis: “Siapakah aku? Adakah aku William atau Romeo atau Hamlet? Atas dasar apa semua ini kulakukan? Sejauh mana mereka mampu mengubah kepribadianku menjadi kepribadian mereka? Atau, jangan-jangan kepribadian mereka yang berubah menjadi kepribadianku?”
Menghadapi persoalan yang tak mampu dipecahkan segenap energi jeniusnya, Shakespeare mengadu kepada Tuhan. “Bagaimana semua ini bisa terjadi, Tuhan? Aku hadir di tengah-tengah orang lain bukan sebagai Shakespeare, melainkan sebagai tokoh-tokoh rekaan ciptaanku, saat drama digelar di panggung. Aku telah menjadi semua yang kucipta hingga semua yang kucipta menggambarkan siapa aku. Sudilah Kau memberiku petunjuk mengenai semua ini, Tuhan Maha Mengetahui.” begitu kata Shakespeare.
Dengan jujur dan bijaksana Tuhan menjawab, “Aku tidak berbeda denganmu. Aku juga mengalami apa yang kau alami, wahai Shakespeareku yang malang! Tak satu pun mengenali-Ku di dunia ini, karena Aku menampakkan diri bukan dalam wujud asli-Ku. Seperti kau Shakespeare, keberadaan-Ku ditunjukkan ciptaan-Ku: alam semesta beserta isinya.”
Karya fiksi berhubungan secara generis dengan kehidupan sehari-hari, dengan tradisi pengetahuan di sekitarnya; dan akhirnya membentuk watak, perilaku, dan cara pandang manusia terhadap dunia. Setiap karya fiksi menawarkan kemungkinan untuk dimasuki, dan diperdebatkan, dengan berbagai disiplin ilmu, selera, perilaku, dan kenyataan.
Menghubungkan fiksi di atas dengan teologi mungkin terasa menjemukan, karena baik fiksi maupun teologi memiliki karakter yang meletihkan untuk dipikirkan secara ketat: abstraksinya yang murni, dan jalan pikirannya yang murni spekulatif. Tapi keduanya sungguh-sungguh hadir dalam kehidupan.
Teologi punya sifat sebagai ilmu murni, ia lahir dan berkembang berdasarkan fakta yang tak terjangkau secara empiris: Tuhan. Fakta itu bersifat Absolut dan Menyeluruh (jika logika ini diteruskan: setiap pengetahuan yang bersifat absolut dan menyeluruh niscaya bersifat teologis). Atas dasar dua sifat itu teologi dikonstruksi secara sistematis. Dan tanpa berdasar pada dua sifat itu teologi akan hancur, dan Tuhan akan kehilangan peran di muka bumi.
Bagaimana pengetahuan semacam itu bertahan dalam dunia penghayatan manusia yang tak sistematis, penuh ilusi-ilusi liar, dan kerap tak berdaya menghadapi kenyataan yang tak menentu? Para teolog tak pernah memikirkan dampak psikologis dari ilmunya, sementara para psikolog melupakan sejauh mana ilmu murni dan ketat seperti teologi (termasuk matematika?) membentuk struktur psikologis manusia.
Mengetahui sikap teolog (dan psikolog) seperti itu, Shakespeare dan Tuhan mungkin hanya senyum. Keduanya menemukan identitas yang sama dari sumber yang berbeda, sedang kedudukan keduanya bertolak belakang. Shakespeare kongkret, Tuhan abstrak. Shakespeare menemukan identitasnya sebagai keseluruhan melalui tokoh-tokoh ciptaannya yang abstrak, Tuhan menemukan identitasnya sebagai keseluruhan melalui semesta ciptaannya yang kongkret. Lalu manusia memiliki sifat ketuhanan melalui iman yang dipercayainya, dan Tuhan memiliki sifat kemanusiawian melalui makhluk ciptaannya.
Pengalaman Shakespeare dan Tuhan dalam fiksi Borges tersebut merupakan suatu tragedi bagi kemurnian teologi yang ahistoris, sekaligus komedi yang membebaskan teologi dari penjara kemurniannya. Sederhananya, teologi tak akan pernah kongkret jika hanya duduk sebagai ilmu dengan tanpa diturunkan dalam pengalaman dan dibenamkan dalam bantin kebudayaan. Tuhan tak ditemukan dalam ilmu melainkan dalam intensitas seseorang dalam mengabstraksi serta merefleksikan pengalaman teologisnya, di mana yang ritual bercakap-intim dengan yang kultural. .
Sampai kini belum memuaskan kajian spesifik di mana karya fiksi menjadi wilayah operasi kajian teologi dan agama, sekalipun kajian agama telah mengadopsi teori-teori sastra sebagai khazanah yang memperkaya pengetahuannya. Misalnya dalam Islam terdapat eksperimentasi Nashr Hamid Abu-Zaid mengembangkan teori sastra Amin al-Khulli sebagai proto-idea untuk tafsir Al-Quran, pula Umberto Eco menggunakan semiotika untuk membaca mitologi Kristiani dengan elegan seperti dalam The Name of The Rose.
Namun hubungan fiksi-teologi atau sastra-agama itu masih terbatas pada level metodologi dan belum menjadikan karya fiksi sebagai landasan metodologi tersebut. Maksudnya, menggunakan metodologi sastra sebagai ancilla theologia akan dangkal bila semata berhenti pada pembacaan estetik-teoritik dengan tanpa diikuti penelusuran fenomenologis dari karya sastra itu sendiri. Karena dengan penelusuran fenomenologis itu teologi menemukan bentuk ekspresinya yang kompleks dalam dunia batin manusia, seperti halnya pengaruh karya sastra di hati pembacanya.
Pengalaman Shakespeare di atas, seperti ditunjukkan Borges, merupakan isyarat bahwa karya fiksi bukanlah heretik atau bid’ah dari agama, melainkan suatu ekspresi manusiawi yang niscaya dalam penghayatan iman, sebuah ruang-kemungkinan bagi kajian teologi dan fiksi atau sastra dan agama untuk bergaul lebih kreatif dengan menempatkan karya fiksi sebagai landasan studinya.
Jika ekspresi manusiawi yang niscaya itu diabaikan, teologi akan menguap karena bersikap tinggi-hati dengan malu-malu mengingkari dimensi fiksional pada abstraksinya yang spekulatif dan murni; namun jika ekspresi manusiawi yang niscaya itu diakui, teologi akan menemukan ranah baru untuk mengukuhkan dirinya di tengah spektrum sejarah dan pengetahuan yang kompleks.
Dan di situlah, Borges dan Shakespeare memiliki ruang historis tempat pertemuan dengan Tuhan yang hidup dalam karya-karyanya(kendati mungkin hanya secara literer); walau barangkali baik Borges maupun Shakespeare tidak tergoda untuk mempercayai hasilnya, namun dapat membuka wacana yang lebih kreatif, antara para teolog yang dingin dan kalangan sastra yang sublim, baik dari persepektif religius yang gelisah maupun sekuler yang objektif.
Biar hati kecil dan akal budi bicara, sejujur dan seluasnya…dalam The Winter’s Tale William Shakespeare punya kata:
I that please some, try all, both Joy and Terror
Of Good and Bad, that makes and unfold Error,
In the name of Time, to use my Wings. Impute it
Is not Crime to me…

Post a Comment

Designed by OddThemes | Distributed by Gooyaabi Templates