Top Menu

Puisi Esha Tegar Putra

















GAMBANG TANAH KONGSI

Tiga onggok biji cubadak dengan tiga tali uang di balik
sempak akan kita tukar sekali sepekan di Tanah Kongsi.
Sekali sepekan itu aku tinjau mata sipitmu, mata dengan
 
genangan air perasaian dan hamburan sisik ikan, mata
dengan tujuh lapis mantera yang bikin seorang khatib
terkapar di pelataran surau.

Aku senang dengar musik gambang dari gelombang radio
di balik tumpukan sayur pucuk ubi itu. Ingatkan aku pada
malam tahun baru lalu, malam merah marun, malam dengan
lagu hujan turun, serta garik angin yang bikin buah rambutan
 
jatuh beruntun. Isi dadaku benar-benar tumpas di gerak
 
udara yang segairah lenguh kuda di musim kawin itu.

“Aku beli cabe, sayur, atau mata sipit itu. Adakah dijual
 
seharga tiga tali, atau bisa ditukar-tambah dengan puisi?“
 
Aku tahu sekali sepekanku serupa getar pisau di tangan
 
si tukang daging baru, getar punggung si tukang panggul
 
tua, getar bibir si buta penjual doa. Sekali sepekanku adalah
kasmaran berulang, dengan penolakan yang juga berulang.

2012




KASMARAN PARA LINGUIS

Tiga pohon angsana tumbang sehabis hujan,
 
cinta kita.

Sepuntalan benang kusut sebelum disulam,
 
cinta kita.

Bara padam setelah tungku retak kuali hangus,
 
cinta kita.

Hujan jatuh, mumbang jatuh, segala yang jatuh,
 
semua disebut cinta kita.

Dan bahasa, kasmaran kita adalah bahasa gila. Kau
 
kata, aku frasa dalam separuh sajak mati sebelum
didendangkan jadi prosa. Dalam seluruh sajak mati
 
setelah terhisap pelan di gelitik jari pemain harpa.

Dan bahasa, kasmaran kita adalah telaah buta pada
 
gerak orang berjoged lagu Korea, makna kesakitan
 
kerampang tokoh laga film Cina, serta tafsir nama
 
hantu dalam cerita mistik di negeri para penghiba.

2012

RUSLI, DAN GADIS PASAMAN
Yang namanya cinta, kata orang tua-tua kita 
tak mesti ada kata tetapi. Tetapi hitam, akan diputihkan
 
juga. Tetapi tali sambungan putus, akan dibuhul lagi
 
tetapi hati panas, akan diangin-didinginkan juga.

“Gadis Pasaman pemetik buah asam itu, Rusli
 
ingin kuda jantan dengan asmara membahana.“

Tapi dalam cinta, sajak melulu jadi kalimat penutup pintu
 
yang dekat akan dijauhkan, yang jauh perlahan dilindapkan
 
hari tua dijadikan kasmaran dua punggung saling berpaling.

“Kuda jantan tua itu, Rusli. Meski beruk muda bersorak
 
sambil bergayut-bergelantungan di dahan kayu rimbun
 
kakinya tetap sigap melajang, getar betisnya menandakan
 
asmara yang berulang.“

2011-2012  


(Koran Tempo, 18 Maret 2012)

Post a Comment

Designed by OddThemes | Distributed by Gooyaabi Templates